Senin, 21 November 2011

bphtb-hukum

A. Latar Belakang Penelitian
Di era globalisasi, perekonomian merupakan faktor utama dalam kemajuan negara-negara di seluruh dunia, meskipun ada faktor lain yang menjadi pendukung perkembangan suatu negara akan tetapi jika suatu negara tidak didukung oleh faktor-faktor perekonomian maka negara tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai negara. Selain faktor perekonomian, terdapat faktor-faktor lain yang menjadi ujung tombak perkembangan suatu negara, ujung tombak tersebut antara lain faktor sosial, faktor politik dan faktor budaya. Akan tetapi di era globalisasi saat ini faktor perekonomian merupakan sebuah inti dari perkembangan suatu negara, baik itu bagi negara berkembang maupun negara maju.
Di dalam suatu negara, keberadaan faktor perekonomian tidak terlepas dari kegiatan perindustrian dan perdagangan karena faktor perindustrian dan perdagangan merupakan faktor pendukung perekonomian suatu negara. Apabila suatu negara tidak didukung oleh faktor perindustrian dan perdagangan maka perekonomian negara tersebut tidak akan berjalan baik atau bahkan akan berdampak pada krisis perekonomian.
Di Indonesia sebagai salah satu negara yang berkembang, penggerak roda perekonomian dipegang langsung oleh pemerintah sebagai central point yang bertujuan untuk terlaksananya efektifitas dan efisiensi demi mengimbangi keadaan dan kebutuhan masyarakat Indonesia. Selain itu pemerintah mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk menyejahterakan masyarakatnya melalui sektor perekonomian. Salah satu tindakan pemerintah Indonesia selaku penggerak perekonomian negara adalah dengan cara menyediakan kebutuhan masyarakatnya.
Sebelum terjadinya reformasi pada tahun 1998, pemerintah selaku pengatur jalannya roda perekonomian masyarakat melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan taraf hidup masyarakatnya. Upaya-upaya pemerintah tersebut antara lain mendirikan bank-bank pemerintah dan koperasi sebagai lembaga penghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat, akan tetapi seiring dengan berjalannya waktu terjadi penggeseran yang menyebabkan koperasi jarang dipergunakan oleh masyarakat. Hal ini disebabkan karena masyarakat memiliki keterbatasan dalam menggunakan jasa koperasi. Oleh karena besarnya resiko yang harus diemban oleh masyarakat maka sebagian besar masyarakat lebih memilih bank dalam melakukan kegiatan keuangan daripada koperasi.
Pada tahun 1998 di Indonesia terjadi reformasi sebagai akibat dari krisis ekonomi yang berakibat pada banyaknya pelaku usaha yang mengalami krisis keuangan, maka untuk mengantisipasi krisis keuangan tersebut pemerintah menyediakan kredit melalui perantara bank, baik pemberian kredit kepada bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau bank Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dan bank swasta.
Dalam melaksanakan kegiatan perbankan, bank menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat melalui pemberian kredit dengan menerapkan prinsip kehati-hatian. Dalam pemberian kredit, bank memberikan bunga yang ditentukan oleh Bank Indonesia sebagai bank sentral yang sesuai dengan tujuannya sebagai otoritas moneter yang independen dan mempunyai tugas untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah, sehingga dalam melaksanakan tugas dimaksud perlu selalu diperhatikan pedoman berupa kebijakan moneter dengan prinsip kehati-hatian, sistem pembayaran yang cepat dan tepat serta sistem perbankan yang sehat. Pada dasarnya dalam pemberian kredit, debitur dikenakan bunga maksimal sebesar 6,75% dari jumlah kredit dan dalam hal ini pemberian kredit yang disertai bunga dapat merugikan peminjam atau debitur karena debitur harus mengembalikan uang yang dipinjamnya beserta bunga. Meskipun kredit dapat merugikan debitur akan tetapi hingga saat ini permohonan pemberian kredit yang disertai bunga tetap digemari baik oleh pelaku usaha maupun masyarakat.
Salah satu penyebab kredit sangat digemari masyarakat karena kredit tersebut digunakan oleh masyarakat dalam rangka mendorong dan melancarkan perdagangan, mendorong dan melancarkan produksi, jasa-jasa dan bahkan konsumsi yang pada akhirnya ditujukan meningkatkan taraf hidup manusia.
Pemberian kredit oleh bank bertujuan agar pelaku usaha dapat mendorong kegiatan usahanya untuk dapat kembali pulih dan dapat menjalankan usahanya dengan lancar. Akan tetapi untuk menjamin agar pemberian kredit itu tidak disalahgunakan dan untuk menjamin keuangan negara dalam pemberian kredit tersebut disertai dengan pemberian jaminan oleh pelaku usaha kepada pemerintah melalui bank-bank pemerintah seperti bank BUMN atau bank BUMD dan bank swasta yang jaminannya tersebut dapat berupa benda bergerak maupun benda tidak bergerak.
Dalam hal pelaksanaan kredit, kredit macet sering dialami oleh bank dan dalam hal ini menyebabkan terjadinya peningkatan terhadap jumlah kredit bermasalah, meskipun angka kredit yang diajukan debitur bervariasi akan tetapi besarnya kredit macet di dunia perbankan menjabarkan bahwa posisi perbankan nasional mengalami kesulitan.
Dalam pelaksanaan kredit, kredit bermasalah tidak hanya berpengaruh terhadap kesehatan bank namun di samping itu juga berpengaruh pada keamanan dana masyarakat karena dana masyarakat tersebut dihimpun oleh bank. Untuk menghindari kredit bermasalah, bank seharusnya telah melakukan analisa terhadap usaha, penghasilan serta kemampuan debitur. Apabila debitur tidak mampu menyelesaikan hutangnya tepat pada waktunya atau 21 bulan setelah digolongkan dalam kredit yang diragukan sesuai perjanjian kredit serta tetap tidak ada pembayaran atau pelunasan dari pihak debitur, maka kredit tersebut telah digolongkan dalam kredit bermasalah.
Kredit bermasalah disebabkan oleh berbagai alasan, misalnya usaha yang dibiayai oleh kredit tersebut mengalami kemerosotan, penurunan penjualan, kalah bersaing, adanya krisis moneter dan ekonomi serta adanya kesengajaan debitur melakukan penyimpangan dalam penggunaan kredit yang mengakibatkan sumber pendapatan dari usaha tidak mencukupi bahkan gagal dalam mengembangkan usahanya.
Dalam suatu perikatan pada umumnya selalu terdapat dua unsur yang hadir secara bersama-sama. Unsur-unsur tersebut adalah schuld dan haftung. Schuld yang mewakili kewajiban pada diri debitur untuk memenuhi kewajiban, prestasi atau hutang yang ada pada dirinya tersebut dengan tanpa memperhatikan ada tidaknya harta benda miliknya yang dapat disita oleh kreditur bagi pemenuhan piutang kreditur tersebut. Atau dengan kata lain schuld menunjukan adanya sisi kewajiban atau prestasi atau hutang yang harus dilaksanakan, dipenuhi atau dibayar, tanpa memperhatikan ada tidaknya hak pada sisi kreditur untuk menuntut pemenuhan, pelaksanaan atau pembayaran suatu kewajiban, prestasi atau hutang dari debitur. Perikatan dengan schuld tanpa haftung dalam perikatan yang lahir dari perjanjian yang dapat lahir karena tidak dipenuhinya kausa yang halal dari empat syarat lahirnya perjanjian yang ditentukan dalam Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Dalam perikatan dengan haftung tetapi tanpa schuld merupakan perjanjian perikatan yang jaminan kebendaannya dilakukan oleh pihak ketiga yang bertujuan untuk menanggung atau menjamin pemenuhan, pelaksanaan atau pembayaran suatu kewajiban yang dilakukan oleh debitur dan kreditur. Pada perikatan ini pihak ketiga telah meletakkan hak kebendaannya, yang setiap saat dapat disita dan dijual oleh kreditur untuk mengambil pelunasan terlebih dahulu atas piutang debitur apabila debitur wanprestasi terhadap perjanjiannya.
Pemberian kredit dengan jaminan telah lama diatur di Indonesia, hal ini dapat dilihat pada Pasal 1130, Pasal 1331, Pasal 1132 Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan telah diatur khusus dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan serta Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Meskipun telah ada aturan hukum yang mengatur tentang barang jaminan dalam pemberian kredit akan tetapi tidak semua pelaku usaha mampu untuk dapat membayar kredit atas kredit pinjamannya tersebut kepada bank BUMN atau bank BUMD dan/atau bank swasta selaku kreditur. Maka untuk melindungi kegiatan perbankan, bank BUMN atau bank BUMD dan/atau bank swasta harus mengeksekusi benda yang menjadi jaminan dalam kreditnya tersebut dengan cara dilelang oleh bank. Hal ini berdasarkan perjanjian kredit yang telah disetujui oleh kreditur dan debitur. Tujuan dari pelelangan tersebut dilakukan atas dasar pelunasan hutang-hutang debitur karena telah jatuh tempo dan/atau debitur tidak mampu untuk melakukan pelunasan terhadap hutangnya.
Objek jaminan dalam perjanjian pada hakekatnya tergantung pada perjanjian pokoknya, yaitu perjanjian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih yang melakukan perikatan hutang piutang dimana debitur meminjam sejumlah uang dengan memberikan jaminan berupa objek kebendaan yang dokumen-dokumen kepemilikannya diberikan kepada kreditur sebagai jaminan yang apabila debitur wanprestasi maka objek kebendaan yang menjadi jaminan atas hutang piutang tersebut dieksekusi untuk melakukan pemenuhan hutang piutang tersebut dan apabila terdapat kelebihan dari hasil objek kebendaan yang dieksekusi tersebut maka bank berkewajiban untuk menyerahkan sisa hasil pelelangan yang telah dikurangi segala biaya yang digunakan untuk pelaksanaan lelang eksekusi objek kebendaan tersebut.
Dalam hal ini lelang merupakan suatu lembaga hukum mempunyai fungsi menciptakan nilai dari suatu barang atau mencairkan suatu barang menjadi sejumlah uang dengan nilai objektif. Lembaga lelang pasti selalu ada dalam sistem hukum untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Pertama, untuk memenuhi kebutuhan penjualan lelang, sebagaimana diatur dalam banyak peraturan perundang-undangan. Kedua, untuk memenuhi atau melaksanakan putusan peradilan atau lembaga penyelesaian sengketa berdasarkan undang-undang dalam rangka penegakan keadilan (law enforcement). Ketiga untuk memenuhi kebutuhan dunia usaha pada umumnya, produsen atau pemilik benda pribadi dimungkinkan melakukan penjualan lelang. Dengan adanya peraturan hukum yang mempunyai kekuatan hukum tetap merupakan dasar atas tindakan bank untuk melaksanakan eksekusi terhadap benda jaminan untuk dilakukannya pelelangan terhadap jaminan atas hutang piutang yang telah jatuh tempo tersebut dan pelaksanaan eksekusi lelang tersebut berdasarkan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.06 tahun 2010 tentang pelaksana balai lelang. Peraturan ini mengatur tentang pelaksanaan lelang yang dalam hal ini menentukan mekanisme pelaksanaan lelang terhadap sita jaminan terhadap barang jaminan yang tidak dapat dilanjutkannya pembayaran oleh siberhutang atas telah jatuh temponya hutang-hutang debitur.
Dalam pelaksanaan proses lelang, dalam hal ini dilaksanakan oleh pejabat lelang yang ditentukan oleh Undang-undang yaitu pejabat lelang kelas I dan pejabat lelang kelas II. Dalam pelaksanaan lelang yang dilaksanakan oleh pejabat lelang kelas I dilaksanakan oleh pegawai Departemen Keuangan yang berada di Ibukota Provinsi dan Ibukota Negara yang disediakan oleh negara berdasarkan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 174/PMK.06 Tahun 2010 dan pejabat lelang kelas II dilaksanakan oleh swasta dalam hal ini dapat dilakukan oleh Notaris dan/atau Sarjana Ekonomi yang telah mengikuti pelatihan oleh Menteri Keuangan dan telah dinyatakan lulus untuk menjadi pejabat lelang. Dalam hal ini pejabat lelang kelas II berkedudukan di kabupaten atau kota dan tidak disediakan oleh negara serta dalam melakukan usahanya pejabat lelang kelas II tidak dibiayai oleh negara. Dalam pelaksanaannya pejabat lelang kelas II dilakukan secara mandiri oleh masing-masing, hal ini berdasarkan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 175/PMK.07 Tahun 2010 tentang Pejabat Lelang Kelas II.
Pada dasarnya perjanjian kredit dengan jaminan antara debitur dan kreditur dilakukan terhadap benda tidak bergerak dan dalam hal ini yang menjadi jaminan terhadap kredit tersebut berupa tanah. Maka dalam pelaksanaan eksekusi benda jaminan tersebut dikenakan pajak berdasarkan atas Ketentuan Umum Pasal 1 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang menyatakan bahwa Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan adalah pajak yang dikenakan oleh pemerintah daerah.
Dalam hal pengenaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan dilakukan dengan pertimbangan bahwa tanah dan bangunan selain digunakan untuk memenuhi kebutuhan dasar untuk papan dan lahan usaha, juga merupakan alat investasi yang sangat menguntungkan sehingga memberikan manfaat ekonomi bagi pemiliknya. Oleh karena itu, adalah wajar jika sebagian nilai ekonomi yang diperolehnya diserahkan kepada negara melalui pembayaran pajak dalam hal ini Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) pelaksanaan pemungutan pajak terhadap Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan dilaksanakan sepenuhnya oleh pemerintah daerah dan dijadikan sebagai pajak daerah.
Dalam pelaksanaan eksekusi objek jaminan melalui lelang eksekusi terhadap jaminan hak tanggungan, pemilik benda jaminan atas hak tanggungan yang dalam hal ini kreditur sebagai pemegang hak tanggungan dan pembeli yang dalam hal ini adalah pemenang lelang akan dikenakan pajak yang ditentukan Undang-undang.
Berdasarkan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menempatkan pajak sebagai salah satu perwujudan kewajiban kenegaraan, ditegaskan bahwa penempatan beban kepada rakyat seperti pajak dan lain-lain, harus ditetapkan dengan Undang-undang. Dengan demikian pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah harus didasarkan pada Undang-undang dan dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) dan dalam penarikan pajak tersebut dilaksanakan oleh pemerintah daerah.
Sesuai dengan semangat Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD), Anggaran Pendapatan Asli Daerah bersumber dari Pendapatan Asli Daerah yang antara lain berupa pajak daerah dan retribusi daerah diharapkan menjadi salah satu sumber pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah untuk meningkatkan dan pemerataankesejahteraan rakyat.
Ketentuan ini dimaksud untuk memberikan keleluasaan kepada pemerintah daerahKabupaten/kota dalam mengantisipasi situasi dan kondisi serta perkembangan perekonomian daerah pada masa mendatang yang mengakibatkan perkembangan potensi pajak yang dapat dimanfaatkan pemerintah daerah untuk mengembangkan daerahnya tersebut secara maksimal.
Sejak dirumuskan Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD), hal ini bertujuan untuk penguatan masyarakat lokal dalam rangka peningkatan kapasitas demokrasi baik ditingkat lokal maupun ditingkat nasional, pengembalian martabat dan harga diri masyarakat daerah, mengembalikan program pendidikan politik dalam rangka peningkatan kualitas demokrasi daerah, peningkatan efisiensi pelayanan publik didaerah, peningkatan percepatan pembangunan daerah agar dapat menjadi pemerintahan yang baik (good governance).
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan yang sebagai salah satu jenis pemungutan pajak daerah BPHTB merupakan salah satu sumber penerimaan pendapatan daerah yang sangat potensi menunjang kontribusi Anggaran Pembelanjaan Belanja Daerah. BPHTB ini dari tahun ke tahun akan mengalami peningkatan terus-menerus karena transaksi pelepasan/perolehan hak atas tanah/bangunan terjadi setiap saat sejalan dengan meningkatnya kebutuhan setiap manusia akan tanah itu sendiri.
Prinsip-prinsip yang dianut dalam Undang-undang Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) terjadi pemindahan hak karena:
1. Jual beli;
2. Tukar menukar;
3. Hibah;
4. Hibah wasiat;
5. Waris;
6. Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain;
7. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
8. Penunjukan pembeli dalam lelang;
9. Pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
10. penggabungan usaha;
11. peleburan usaha;
12. pemekaran usaha; atau
13. hadiah.
Berdasarkan pada poin 8 (delapan) tentang penunjukan pembeli dalam lelang inilah yang menjadi dasar pengenaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan dilakukan.
Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, ditentukan mengenai besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak BPHTB ditetapkan sebesar Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak BPHTB. Sedangkan Tarif Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan ditetapkan sebesar 5% (lima persen) dari Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) hal ini disebabkan karena Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) merupakan salah satu instrumen yang dalam keadaan tertentu dipergunakan sebagai dasar pengenaan BPHTB.
Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, dalam hal :
a. jual beli adalah harga transaksi;
b. tukar menukar adalah nilai pasar;
c. hibah adalah nilai pasar;
d. hibah wasiat adalah nilai pasar;
e. waris adalah nilai pasar;
f. pemasukan dalam peseroan atau badan hukum lainnya adalah nilai pasar;
g. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah nilai pasar;
h. peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap adalah nilai pasar;
i. pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah nilai pasar;
j. pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak adalah nilai pasar;
k. penggabungan usaha adalah nilai pasar;
l. peleburan usaha adalah nilai pasar;
m. pemekaran usaha adalah nilai pasar;
n. hadiah adalah nilai pasar; dan/atau
o. penunjukan pembeli dalam lelang adalah harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang.

Pajak Yang Terutang yang dikenakan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) merupakan hasil pengurangan dari Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) yang dikurangi dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) maka menghasilkan Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP) dan hasil inilah yang dikenakan pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sebesar 5%.
Dalam hal Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) tidak diketahui atau lebih rendah dari pada Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang dipergunakan adalah pengenaan dalam Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya perolehan hak, maka besaran pokok Pajak yang terutang dihitung dengan cara mengalikan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) dengan Tarif Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan ditetapkan sebesar 5% (lima persen) Pajak Bumi dan Bangunan setelah dikurangi NPOPTKP.
Mengenai objek lelang dikenakan pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan serta dalam pelaksanaan lelang penunjukan pembeli dalam lelang adalah harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang yang menentukan pemenang lelang sejak tanggal penunjukan pemenang lelang tersebut diputuskan.
Dalam pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan tersebut dilakukannya verifikasi, salah satu objek pajak yang dikenakan verifikasi Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan adalah objek lelang oleh pemerintah daerah oleh karena itu objek lelang juga dikenakan verifikasi oleh pemerintah daerah kota Semarang.
Pelaksanaan verifikasi Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan terhadap objek lelang di Kota Semarang bukan hal yang sederhana, karena implementasi menyangkut dimensi interplasi, organisasi, dan dukungan sumber daya yang ada karena verifikasi merupakan suatu kegiatan yang berfungsi untuk menunjau kembali atau memeriksa ulang mengenai pengenaan harga objek yang dikenakan pajak.
Dasar pengenaan Verifikasi Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan melalui objek tanah yang dilelang dengan cara penunjukan pembeli dalam lelang yang harus sesuai harga pasar serta menghasilkan harga transaksi yang tercantum dalam Risalah Lelang.
Pelaksanaan lelang terhadap jaminan hutang yang terdapat pada bank BUMN atau bank BUMD dan/atau bank swasta, termasuk dalam hal ini dilaksanakan oleh Bank Mandiri sebagai salah satu bank yang melaksanakan eksekusi terhadap barang yang menjadi jaminan hutang atas piutang debitor apabila debitur tidak mampu untuk melakukan pemenuhan hutangnya.
Dalam pelaksanaan eksekusi terhadap benda jaminan melalui lelang yang dilakukan sebagai pemenuhan hutang yang dilakukan debitur terhadap bank sebagai kreditur akan dikenakan pajak. Pengenaan pajak tersebut atas dasar Bank Mandiri merupakan Badan Usaha Milik Negara yang memiliki fungsi bank pada umumnya, yaitu menghimpun dana dari masyarakat dan mengalokasikannya kembali kepada masyarakat melalui kredit, hal ini berdasarkan pada Pasal 1 ayat (4) Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
Setiap bank dalam melaksanakan kegiatan perkreditan berusaha mengurangi risk asset untuk menciptakan perkreditan yang sehat dalam arti kredit yang produktif, namun perkreditan yang dilakukan oleh bank tidak lepas dari resiko berupa kredit yang tidak dapat kembali sebagaimana waktu yang ditentukan yang disebut kredit bermasalah. Kredit bermasalah dalam kegiatan bank mungkin juga dapat terjadi pada PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk.
Perseroan Terbatas Bank Mandiri (Persero) Tbk yang disingkat dengan PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk yang didirikan pada 2 Oktober 1998, dalam hal ini merupakan sebagai bagian dari program restrukturisasi perbankan yang dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia melalui akuisisi terhadap 4 (empat) bank pemerintah, yaitu Bank Bumi Daya, Bank Dagang Negara, Bank Exim dan Bapindo yang dilebur menjadi Bank Mandiri bertujuan Menjadi Lembaga Keuangan Indonesia yang paling dikagumi dan selalu progresif.
Dalam melaksanakan kegiatan perkreditan PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk sebagai kreditur mempunyai peran memberikan kredit kepada debitur, kegiatan perkreditan merupakan proses pembentukan asset bank. Kredit merupakan risk asset bagi bank karena bank dikuasai oleh pihak luar bank yaitu para debitur.
Bank Mandiri adalah salah satu perusahaan lembaga keuangan yang fungsi utamanya menghimpun dana dan menyalurkan dana masyarakat. Dalam pelaksanaan kredit Bank Mandiri para debitor harus menyertakan jaminan, hal ini dimaksudkan untuk mengantisipasi apabila debitor wanprestasi atau tidak sanggup untuk melakukan pelunasan terhadap kreditnya maka jaminan tersebut dijadikan pelunasan untuk hutang-hutangnya. Dalam hal benda jaminan tidak semua benda dapat digunakan sebagai objek jaminan, dalam perjanjian kredit pada Bank Mandiri yang dapat menjadi sebagai objek jaminan diklasifikasikan dalam 3 (tiga) hal, yaitu:
1. Objek jaminan berupa hak tanggungan berupa tanah, rumah dan lain-lain;
2. Objek jaminan berupa fidusia, yaitu benda-benda bergerak berupa kendaraan bermotor, kursi dan meja yang terdapat di restoran, dan lain-lain;
3. Objek jaminan berupa benda-benda hipotik, yaitu benda tidak bergerak seperti kapal yang berat jenisnya 10 ton dan/lebih dari 10 ton dan/atau 10 meter dari kedalaman air, pesawat terbang dan helikopter yang didaftarkan sebagai benda hipotek.
Penulisan tesis ini hanya membatasi terhadap pelaksanaan verifikasi pemungutan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan terhadap objek lelang menurut peraturan daerah Kota Semarang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan yang terdapat pada PT. Bank Mandiri (persero) Tbk.
B. Perumusan Masalah
1. Bagaimana Proses Pemungutan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan terhadap Objek Lelang di Kota Semarang?
2. Bagaimana Akibat Hukum dari Verifikasi terhadap Objek Lelang Menurut Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Pada Bank Mandiri Cabang Semarang?

C. Tujuan Penelitian
Bertitik tolak pada permasalahan yang telah diuraikan dimuka, maka bermaksud untuk mengemukakan tujuan penelitian sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui secara jelas proses pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Terhadap Objek Lelang dikota Semarang.
b. Untuk mengetahui bagaimana akibat hukum dari verifikasi terhadap objek lelang Menurut Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Pada Bank Mandiri Cabang Semarang.

D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praktis.
1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat menambah wawasan dan kajian dalam terutama bagi perkembangan ilmu pengetahuan hukum dan memberikan sumbangan yang berarti bagi kajian kritis terhadap kajian Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) terhadap objek lelang dalam ruang lingkup hukum pajak.
2. Manfaat Praktis
1. Bagi Pemerintah daerah dapat menggunakan hasil penelitian sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil kebijakan dalam palaksanaan verifikasi terhadap objek lelang berdasarkan Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).
2. Manfaat bagi masyarakat diharapkan dapat memberi masukan kepada para pihak tentang pelaksanaan lelang barang jaminan kredit pada Bank Mandiri agar yang dapat memberikan kepastian hukum bagi pemohon lelang/penjual khususnya mengenai pajak yang dikenakan yaitu bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB).
3. Bagi peneliti sendiri hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan tentang hukum pajak khususnya mengenai pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) terhadap objek lelang.






E. Kerangka Pemikiran























b. Kerangka Teoritik
a. Teoritis
Memberikan suatu masukan dan dapat memberikan sumbangsih pemikiran bagi akademisi, dunia penelitian secara teoritis, baik berupa pembendaharaan konsep, metode proposisi, atau pengembanan teori-teori dalam khasanah studi hukum dan masyarakat.
b. Praktis
Diharapkan hasil penelitian ini dapat sebagai masukan dan informasi secara praktis mengenai Pelaksanaan Verifikasi Pemungutan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Terhadap Objek Lelang Menurut Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (Studi Kasis Bank Mandiri Cabang Semarang).

F. Metode Penelitian
A. Metode Penelitian
Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan maupun teknologi. Hal ini disebabkan karena penelitian bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten. Melalui proses penelitian terebut diadakan analisis dan kontruksi terhadap data yang dikumpulkan dan diolah. Metodologi adalah suatu hal yang sangat penting bagi penelitian dan dapat dikatakan bahwa metodologi merupakan unsur mutlak yang harus ada dalam kegiatan penelitian, untuk itu dalam suatu penelitian, peneliti perlu menggunakan metode yang tepat karena ada tidaknya suatu karya ilmiah tergantung pada metode yang digunakan.
B. Spesifikasi Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan dan menganalisa data yang diperoleh secara sistematis, faktual dan akurat tentang pelaksanaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan terhadap objek lelang barang jaminan terhadap eksekusi kredit bank.
Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan yuridis empiris yang didukung oleh data primer dan data sekunder. Penelitian hukum mengenai pemberlakuan hukum normatif secara in action pada setiap peristiwa hukum yang terjadi dalam masyarakat, yaitu dengan meneliti secara langsung bagaimana suatu aturan hukum dapat berlaku secara efektif dalam kehidupan masyarakat yang kompleks dan apa akibatnya jika masyarakat tidak taat pada hukum yang berlaku serta bagaimana upaya hukum yang ditempuh dalam penyelesaian permasalahan yang terjadi baik dalam hubungan horizontal maupun vertikal. Lebih lanjut dari segi tujuan diadakan penelitian, penelitian tersebut juga dimaksudkan untuk melakukan penelitian mengenai problem indentification dan problem solution. Penelitian dilakukan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan pelaksanaan lelang dengan melihat pada pelaksanaan lelang barang jaminan kredit pada bank Mandiri serta melihat pada peraturan .
C. Teknik Pengumpulan Data/Jenis Data
Pengumpulan data diperoleh dari penelitian kepustakaan yang didukung penelitian lapangan. Penelitian kepustakaan (library research) yaitu menghimpun data dengan melakukan penelaahan bahan kepustakaan atau data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier.
i. Bahan hukum primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari hasil pengamatan, berupa hasil dari wawancara atau interview baik secara langsung maupun secara tidak langsung terhadap informan Dalam penelitian ini merupakan sumber informasi yang utama. Untuk menentukan informan dalam penelitian ini, harus memenuhi beberapa persyaratan, antara lain:
a. Informan terlibat penuh dalam hal pelaksanaan undang-undang tentang pemungutan pajak BPHTB di wilayah kota semarang.
b. Informan memiliki waktu yang cukup untuk dimintai keterangan.
Berdasarkan pertimbangan syarat tersebut, maka informan penelitian ini adalah pihak-pihak yang dapat dijadikan sebagai subjek kajian atau key informan, yakni kanwil Ditjen Pajak Jawa Tengah, dan Pemerintah Kota Semarang (Ka Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah). Penentuan informan tersebut dilakukan secara purposive sampling.
Bahan-bahan hukum yang mengikat, yakni:
a. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dan amandemennya;
b. Kitab Undang-undang Hukum Perdata;
c. Undang-undang nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Pokok Agraria;
d. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah diubah menjadi Undang-undang Nomor 16 Tahun 2009 (Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
e. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan;
f. Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan;
g. Undang-undang Nomor 33 tahun 2004 tentang pertimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah;
h. Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD);
i. Peraturan Pelaksanaan Lelang (Vendu Reglement, Ordonantie 28 Februari 1908 sebagaimana telah berubah beberapa kali diubah terakhir dengan Staatsblad 1941:3);
j. Instruksi Lelang (Vendu Instructie, Staatsblad 1908:190 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Staatsblad 1930:85);
k. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 114 tahun 2000 tentang pencabutan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 1997, tentang Pembagian Hasil Penerimaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah;
l. Peraturan Bersama Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri Nomor 186/PMK.07/2010 dan Nomor 53 Tahun 2010 Tentang Tahapan Persiapan Pengalihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagai pajak daerah.
m. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 519/KMK.04/2000 tentang Pembagian Hasil Penerimaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah daerah;
n. Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.
ii. Bahan hukum sekunder, yaitu data yang diperoleh melalui studi kepustakaan dan dokumentasi, antara lain: buku-buku, makalah, artikel dari media massa maupun media elektroni serta bahan-bahan hukum lainnya yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini.
iii. Bahan tertier adalah bahan pendukung di luar bidang hukum yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang meliputi kamus ensiklopedia, kamus bahasa Indonesia atau jurnal-jurnal hukum yang berkaitan dengan permasalahan pelaksanaan pemungutan Bea Perolehan Hak Atas dan Bangunan terhadap objek lelang pada Pemerintah Kota Semarang dan verifikasi pemungutan Bea Perolehan Hak Atas dan Bangunan terhadap objek lelang pada Pemerintah Kota Semarang.
D. Alat Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara:
a. Studi Dokumen yaitu menghimpun data dengan melakukan penelaahan bahan kepustakaan atau data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier, berupa dokumen-dokumen maupun peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang terkait dengan pelaksanaan lelang pada Kantor Pelayanan Kekayaan dan Lelang Negara (KPKLN) dan pelaksanaan pemungutan Bea Perolehan Hak Atas dan Bangunan terhadap objek lelang pada Pemerintah Kota Semarang.
b. Wawancara terstruktur yaitu menghimpun data dengan melakukan wawancara yang menggunakan pedoman wawancara (interview guide) untuk mendapatkan data primer dari nara sumber yang telah ditentukan, yaitu:
1. Administrasi Kredit/Legal Bank Mandiri Cabang Semarang di Kota Semarang.
2. Kantor Pelayanan Kekayaan dan Lelang Negara (KPKLN).
3. Pemerintah Kota Semarang.
c. Wawancara tidak terstruktur, dalam melakukan wawancara tidak ditetapkan dalam daftar pertanyaan. Materi wawancara diharapkan berkembang sesuai dengan jawaban informan dan situasi saat wawancara berlangsung. Wawancara ini dimaksudkan untuk menemukan sebanyak mungkin informasi yang diperlukan.
E. Analisis Data
Analisis data yang digunakan dalam penelitian tesis ini adalah analisis data kualitatif yang berupa uraian-uraian data yang dihimpun dalam kalimat terstruktur dan kemudian dihubungkan secara sistematika untuk menarik kesimpulan guna menjawab permasalahan dalam tesis.
Semua data yang diperoleh disusun secara sistematis, diolah dan diteliti serta dievaluasi. Kemudian data dikelompokkan atas data yang sejenis, untuk kepentingan analisis, sedangkan evaluasi dan penafsiran dilakukan secara kualitatif yang dicatat satu persatu untuk dinilai kemungkinan persamaan jawaban. Oleh karena itu data yang telah dikumpulkan kemudian diolah, dianalisis secara kualitatif dan diterjemahkan secara logis sistematis untuk selanjutnya ditarik kesimpulan dengan menggunakan metode pendekatan deduktif. Kesimpulan adalah merupakan jawaban khusus atas permasalahan yang diteliti, sehingga diharapkan akan memberikan solusi atas permasalahan dalam penelitian.
F. Jadwal Penelitian
Pelaksanaan penelitian dilakukan berdasarkan jadwal yang telah ditentukan selama 4 bulan, mulai bulan September 2011 sampai dengan Desember 2011, dengan menyesuaikan situasi dan kondisi lapangan sebagai berikut:
JADWAL PENELITIAN
No Keterangan September Oktober November Desember
1. Persiapan proposal

2. Ujian usulan proposal
3. Penelitian
4. penyusunan


G. Sistematika Penulisan
Dalam upaya memberikan gambaran yang jelas mengenai permasalahan yang dibahas dalam tesis ini, maka penulisan tesis ini disusun dengan sistematika yang terbagi dalam 4 (empat) bab dan masing-masing terdiri dari beberapa sub bab.
Adapun urutan bab dan pembahasan disusun sebagai berikut:
Bab I : Merupakan bab “Pendahuluan” yang menguraikan tentang latar belakang yang dibahas yang menjelaskan alasan-alasan objektif yang mendorong dilakukannya penelitian yang kemudian ditulis dalam bentuk tesis. Perumusan masalah diangkat memuat uraian ringkas fokus masalah yang akan diteliti. Dalam bab ini diuraikan juga tujuan dan manfaat penelitian. Untuk itu maka diuraikan juga kerangka pemikiran/kerangka teoritik yang digunakan serta metode penelitian, jadwal penelitian dan sistematika penelitian.
Bab II : Merupakan bab “Tinjauan Pustaka” yang menguraikan konsep dan teori yang diterapkan sebagai pedoman konseptual dan teoritik dalam penelitian tesis ini.
Bab III : Merupakan bab yang menyajikan “Hasil Penelitian dan Pembahasan” mengenai pelaksanaan verifikasi pemungutan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan terhadap objek lelang menurut peraturan daerah Kota Semarang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan yang terdapat pada PT. Bank Mandiri (persero) Tbk dan akibat hukum dari verifikasi terhadap objek lelang Menurut Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Pada Bank Mandiri Cabang Semarang
Bab IV : Merupakan bab “Penutup” akan disampaikan suatu kesimpulan dan saran yang didapat dari suatu analisis.
















DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku.
Hadiwijaya dan R.A. Rivai Wirasamita, 1990,Analisis Kredit, Pionir Jaya, Bandung.
Kartini Muljadi-Gunawan Widjaja, 2005, Hak Tanggungan, Seri Hukum Harta Kekayaan:hak Tanggungan, Kencana, Jakarta.
Kasmir, 2002, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, edisi keenam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Mohammad Tjoekam, 1999, Perkreditan Bisnis Inti Bank Komersial, Gamedia Pustaka Utama, Jakarta.
Muda Markus, 2005, Perpajakan Indonesia Suatu Pengantar, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
M. Suparmoko, 2000, keuangan negara dalam teori dan praktek, (Yogyakarta edisi 5, cetakan ke dua BPFE,).
Murseh Mursanef, 1981, Pedoman Pembuatan Skripsi, Haji Masagung, Jakarta.
Rahmat Firdaus dan Maya Arianti, 2003, Managemen Perkreditan Bank Umum, Teori, masalah, kebijakan dan Aplikasinya Lengkap Dengan Analisis Kredit, Alfabeta, Bandung.
Rachmadi Usman, 2001, Aspek-aspek Hukum Perbankan diIndonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 1990, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Press, Jakarta.
Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta.
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 1995, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Press, Jakarta.
Internet.
http//www.Pengertian dan Prinsip Koperasi Perpustakaan Online Blogger Indonesia.htm. diakses tanggal 17 September 2011.
Muladi, Prinsip Kehati-hatian Dalam Kerangka Undang-undang Perbankan di Indonesia, http://www.hukumonline.com//2005.
www.bi.go.id//Penjelasan Umum Peraturan Bank Indonesia Nomor. 1/5/PBI/1999 Tentang Kredit Likuiditas Bank Indonesia dalam Rangka Kredit Program Pada Masa Peralihan.
http://www.bisnis.com/articles/bi-rate-tetap-bank-sentral-perlebar-batas-bawah-suku-bunga.
http//www.google.com/jaminan sebagai dasar perjanjian/.
www.bankmandiri.co.id//company profile.
http//www.google.com/unsur-unsur jaminan.
Artikel.
Departemen Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara, Biro Hukum-Sekretariat Jenderal, 2005, Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Lelang, Jakarta.
Heru Supriyanto, BEM., M.Si, Widyaiswara Madya Pusdiklat Pajak, 2010, Diklat Subtantif Dasar Pajak 1 Modul Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, Kementrian Keuangan Republik Indonesia, Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Pusdiklat Pajak.







BAB II
TINJAUAN UMUM

1. Tinjauan Umum Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan ( BPHTB).
a. Pengertian Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).
Pengertian Pajak
Pajak adalah iuran rakyat kepada negara yang dapat dipaksakan tanpa balas jasa langsung yang bisa digunakan untuk pembiayaan pembangunan nasional.
Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan.
Macam-macam pajak yang terdapat di Indonesia, baik pajak yang sudah tidak berlaku lagi, maupun yang sedang berlaku saat ini, antara lain:
1. Pajak Pusat (wewenang pemajakanberada ditangan pemerintah pusat);
2. Pajak Penghasilan (PPh), berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 (UU PPh);
3. Pajak Pertambahan Nilai (PPn), berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 (UU PPn/PPnBM);
4. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), berdasarkan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994 (UU PBB);
5. Bea Materai, berdasarkan Undang-undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai (UU Bea Materai);
6. Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB-masa berlaku tanggal 9 Juli 1998), berdasarkan Undang-undang Nomor 21 Tahun 1985 tentang Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan yang sebagaimana telah dirubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan;
7. Bea Masuk, berdasarkan Undang-undang nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeaan;
8. Cukai Tembakau dan Ethil Alkohol beserta hasil olahannya, berdasarkan Undang-undang Nomor 11 tahun 1995 tentang Cukai (Undang-undang Cukai).
Berdasarkan Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) pelaksanaan pemungutan pajak terhadap Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan dilaksanakan sepenuhnya oleh pemerintah daerah dan dijadikan sebagai pajak daerah.
Pajak daerah (wewenang pemajakannya berada ditangan pemerintah daerah). Dasar hukum pelaksanaan pemungutan Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan adalah Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Berdasarkan Undang-undang tersebut pajak daerah terdiri dari:
1. Pajak Daerah Provinsi (wewenang pemajakannya berada ditangan pemerintah Provinsi).
a. Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Kendaraan diatas Air;
b. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB);
c. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) dan Kendaraan di Atas Air;
d. Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air dibawah Tanah dan Air Permukaan;
2. Pajak Daerah Kabupaten/Kota (wewenang pemajakannya berada ditangan pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
a. Pajak Hotel dan Restoran (PHR);
b. Pajak Restoran;
c. Pajak Hiburan;
d. Pajak Reklame;
e. Pajak Penerangan Jalan;
f. Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian Golongan C;
g. Pajak Parkir (dikenakan pada perusahaan pengolahan parkir).
Berdasarkan pasal 33 ayat 3 UUD 1945, bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Tanah disamping mempunyai fungsi sosial, juga berfungsi memenuhi kebutuhan dasar untuk papan dan lahan usaha, serta menjadi alat yang menguntungkan.
Prinsip-prinsip yang dianut dalam Undang-undang Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB):
1. Pemenuhan Kewajiban Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) adalah berdasarkan prinsip self assessment, yaitu wajib pajak menghitung dan membayar sendiri utang pajaknya;
2. Besarnya tarif ditetapkan sebesar 5% (lima persen) dari Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP);
3. Agar dalam pelaksanaan Undang-undang ini dapat berlaku efektif, maka baik wajib pajak maupun pejabat-pejabat umum yang melanggar ketentuan atau tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana ditentukan oleh Undang-undang akan dikenakan sanksi menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku;
4. Hasil penerimaan Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) merupakan penerimaan Negara yang sebagian besar diserahkan kepada Pemerintah Daerah untuk meningkatkan pendapatan daerah, membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah, dan memantapkan otonomi daerah;
5. Semua pungutan atas Bea perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan (BPHTB) diluar ketentuan Undang-undang ini tidak diperkenankan.
Objek Pajak Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB).
Yang menjadi objek Pajak atau suatu transaksi/peristiwa yang dikenai Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) apabila transaksi atau peristiwa itu mengakibatkan salah satu pihak yang melakukan transaksi memperoleh hak atas tanah dan/atau bangunan.
Yang dimaksud tanah dan/atau bangunan dapat berupa:
1. Tanah yang termasuk tanaman diatasnya;
Yang dimaksud tanah dan yang termasuk tanaman yang terdapat diatasnya merupakan suatu keadaan dimana pada tanah tersebut hanya terdapat tanah beserta tanamannya saja, tidak terdapat bangunan baik dalam bentuk bangunan permanen maupun bangunan yang tidak permanen.
2. Bangunan.
Yang dimaksud dengan bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan yang dapat berupa bangunan gedung, rumah, kolam renang, tempat olah raga, silo, dan lain-lain.
3. Tanah dan bangunan;
Yang dimaksud dengan tanah dan bangunan yaitu suatu keadaan dimana didalam suatu hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta bangunan diatasnya, yang sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang peraturan Pokok Agraria, Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun dan peraturan perundangan lainnya serta dalam bidang tanah tersebut terdapat konstruksi teknik yang tertanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan yang dapat berupa bangunan gedung, rumah, kolam renang, tempat olah raga, silo, dan lain-lain.
Didalam hak atas tanah dan/atau bangunan terdapat beberapa objek yang dikenakan pemungutan Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB). Objek-objek tersebut antara lain:
1. Objek Tanah dan Bangunan yang berupa Hak Milik (hak turun temurun, terkuat, dan tepenuh yang dapat dimiliki orang pribadi atau badan-badan hukum tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah);
2. Objek Tanah dan Bangunan yang berupa Hak Guna Usaha/HGU yaitu hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dalam jangka waktu sebagaimana yang ditentukan oleh perundang-undangan yang berlaku;
3. Objek Tanah dan Bangunan yang berupa Hak Guna Bangunan/HGB, yaitu hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu yang ditetapkan oleh Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Pokok Agraria;
4. Objek Tanah dan Bangunan yang berupa Hak Pakai, yaitu hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pejabat yang berwenang atau dalam perjanjian dengan pemilik tanah, yang bukan perjanjian sewa menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
5. Objek Tanah dan Bangunan yang berupa Hak milik atas satuan rumah susun , yaitu hak milik atas satuan yang bersifat perorangan dan terpisah. Hak milik atas satuan rumah susun juga meliputi hak atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama yang semuanya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan satuan yang bersangkutan;

6. Objek Tanah dan Bangunan yang berupa Hak Pengelolaan, yaitu hak menguasai dari negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya, antara lain berupa perencanaan peruntukan dan penggunaan tanah, penggunaan tanah untuk keperluan pelaksanaan tugas, penyerahan bagian-bagian dari tanah tersebut kepada pihak ketiga dan/atau kerja sama dengan pihak ketiga.
Yang dimaksud dengan perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau bangunan oleh orang pribadi atau badan.
Perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan meliputi:
1. Pemindahan hak karena:
a. Jual beli;
b. Tukar menukar;
c. Hibah;
d. Hibah wasiat (penetapan wasiat mengenai pemberian hak atas tanah dan/atau bangunan dari orang pribadi yang berupa penetapan yang khusus mengenai pemberian hak atas tanah kepada orang pribadi dan/atau badan hukum tertentu, yang berlaku setelah pemberi hibah wasiat meninggal dunia);
e. Warisan;
f. Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya yang berupa pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dari orang pribadi atau badan kepada perseroan terbatas atau badan hukum lainnya sebagai penyertaan modal pada perseroan terbatas atau badan hukum lainnya atau biasa disebut dengan inbreng);
g. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan atau pemindahan sebagian hak bersama atas tanah dan/atau bangunan oleh orang pribadi atau badan kepada sesama pemegang hak bersama;
h. Penunjukan pembeli dengan lelang dengan penetapan pemenang lelang oleh pejabat lelang sebagaimana tercantum dengan risalah lelang;
i. Pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
j. Penggabungan usaha;
k. Peleburan usaha;
l. Pemekaran usaha;
m. Hadiah atau suatu perbuatan hukum yang berupa penyerahan hak atas tanah dan/atau bangunan yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan hukum kepada pemegang hadiah, dalam hal ini akta yang dibuat adalah akta hibah.
2. Perolehan hak baru karena:
a. Perolehan hak baru yang merupakan kelanjutan pelepasan hak yang berupa pemberian hak baru kepada orang pribadi atau badan hukum dari negara atas tanah yang berasal dari pelepasan hak;
b. Perolehan hak baru diluar pelepasan hak yang berupa pemberian hak baru atas tanah kepada orang pribadi atau badan hukum dari negara menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Subjek hukum pajak dan wajib pajak
Sebelum suatu perolehan hak atas tanah dan bangunan dikenai bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB), terlebih dahulu harus ditentukan siapa wajib pajak atau subjek pajak yang akan dikenakan Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB).
Dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi subjek pajak adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan/atau bangunan. Subjek pajak yang dikenai kewajiban membayar pajakmenjadi wajib pajak.
Sistem Pemajakan Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB)
Pemajakan Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) dilakukan dengan sistem pemajakan sendiri (self assessment system). Wajib pajak yang melakukan penghitungan besarnya Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) terutang dan menyetorkannya sendiri ke kas negara yang dapat melalui bank atau kantor pos pada saat timbulnya utang BPHTB dan melaporkan sendiri penghitungan dan penyetoran BPHTB terutang. Disamping itu, pelaporan mengenai penghitungan dan penyetoran BPHTB tersebut dilakukan juga oleh Notaris/PPAT atau kantor pertanahan kabupaten/kota atau pejabat lelang.


Pemungutan Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) terhadap objek lelang berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2011.


Sesuai dengan pasal 33 ayat 3 Undang-undang Dasar 1945, yaitu bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Tanah yang sebagai bagian dari bumi yang merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa, disamping memenuhi kebutuhan dasar untuk papan dan lahan usaha, juga merupakan alat investasi yang sangat menguntungkan.disamping itu bangunan juga memberi manfaat ekonomi bagi pemiliknya. Oleh karena itu, bagi mereka yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan merupakan sesuatu yang dianggap wajar untuk menyerahkan sebagian nilai ekonomi yang diperolehnya kepada negara melalui pembayaran pajak, yang dalam hal ini adalah Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).
Pengertian-pengertian:
Dalam pembahasan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan akan dijumpai beberapa pengertian yang sudah baku. Pengertian tersebut antara lain sebagai berikut:
1. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Dalam pembahasan ini tanah disebut sebagai objek pajak;
2. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan;
3. Hak atas tanah atau bangunan, adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta bangunan diatasnya, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985 Tentang Rumah Susun, dan ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
Terdapat beberapa hak yang tidak termasuk objek pajak, objek pajak yang tidak dikenakan Pajak Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) antara lain:
1. Perwakilan Diplomatik, konsulat berdasarkan atas perlakuan timbal balik;
2. Negara untuk penyelenggaraan pemerintahandan atau pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;
3. Badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan keputusan menteri dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain diluar fungsi dan tugas badan usaha atau perwakilan organisasi tersebut;
4. Orang pribadi atau badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;
5. Orang pribadi atau badan karena wakaf;
6. Orang pribadi atau badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah;

Saat Terutangnya Pajak
Saat yang menentukan terutangnya pajak adalah:
1. Pemisahan hak:
Pemisahan hak dilakukan pada saat diibuat dan ditanda tanganinya akta, yang meliputi:
a. Jual beli;
b. Tukar menukar;
c. Hibah;
d. Pemasukan dalam perseroan atau badan lainnya;
e. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
f. Penggabungan usaha;
g. Peleburan usaha;
h. Pemekaran usaha;
i. Hadiah;
2. Sejak tanggal penunjukan pemenang lelang;
3. Sejak tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
4. Sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya kekantor pertanahan, untuk hibah wasiat dan waris;
5. Sejak tanggal ditanda tangani dan diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk:
a. Pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak;
b. Pemberian hak baru diluar pelepasan hak.

Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan bangunan
Dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2000 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan dalam pengajuan keberatan BPHTB diatur dalam Pasal 16 dan Pasal 17

b. Jenis dan Bentuk Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan ( BPHTB).



c. Asas, Fungsi dan Tujuan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan ( BPHTB).

2. Tinjauan Umum Tentang Lelang.
a. Pengertian Lelang.
Peraturan tentang lelang di Indonesia diawali dengan Vendu Reglement (Peraturan Lelang) Stb. 1908 Nomor 189 dan Vendu Instructie (Instruksi Lelang) Stb.1908 Nomor 190. Peraturan pelaksanaan untuk lelang dikeluarkan oleh Menteri Keuangan dan Kepala Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara yang kemudian menjadi dasar bagi diterbitkannya Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 337/KMK.01/2000 tentang Petunjuk Pelaksanaan yang kemudian dirubah dan terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Indonesia Nomor 40/PMK.07/2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang dan juga Keputusan Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara Nomor 42/PN/2000 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Lelang.
Dalam pelaksanaan lelang yang dimaksud dalam Vendu Reglement itu adalah suatu penjualan barang di muka umum dengan cara penawaran secara lisan dan naik-naik untuk memperoleh harga yang semakin meningkat atau dengan penawaran harga yang semakin menurun dan/atau dengan penawaran harga secara tertutup dan tertulis yang didahului dengan usaha mengumpulkan para calon peminat/pembeli lelang yang dipimpin oleh pejabat lelang.
Penjualan dimuka umum berdasarkan Vendu Reglement diartikan sebagai pelelangan dan penjualan barang yang diadakan dimuka umum dengan penawaran harga yang makin meningkat, dengan perserujuan yang semakin menurun atau dengan pendaftaran harga, atau dimana orang-orang yang diundang atau sebelumnya telah diberitahu tentang pelelangan atau penjualan, atau kesempatan yang diberikan kepada orang-orang yang berlelang atau yang membeli untuk menawar harga, menyetujui harga atau mendaftarkan.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang mendefinisikan pengertian lelang adalah penjualan barang yang terbuka untuk umum dengan penawaran harga secara tertulis dan/atau lisan yang semakin meningkat atau menurun untuk mencapai harga tertinggi, yang didahului dengan Pengumuman Lelang.
Lelang adalah menghimpun para peminat untuk mengadakan persetujuan yang paling menguntungkan bagi penjual. Ada 3 (tiga) syarat untuk dilakukan penjualan umum, yaitu:
1. Penjualan harus selengkap mungkin;
2. Ada kehendak untuk mengikatkan diri;
3. Bahwa pihak lainnya (pembeli) yang akan mengadakan/melakukan perjanjian tidak dapat ditunjuk sebelumnya.
Untuk melaksanakan peraturan ini dan peraturan pelaksanaan yang ditetapkan lebih jauh berdasarkan peraturan ini yang dimaksud dengan “penjualan dimuka umum” ialah pelelangan dan penjualan barang, yang diadakan di muka umum dengan penawaran harga yang semakin meningkat, dengan persetujuan harga yang makin menurun atau dengan pendaftaran harga, atau dimana orang-orang yang diundang atau sebelumnya sudah diberi tahu tentang pelelangan atau penjualan, atau kesempatan yang diberikan kepada orang-orang yang berlelang atau yang membeli untuk menawar harga atau mendaftarkan.
Lelang sebagai sarana penjualan barang yang bersifat khusus dan transparan memiliki dua fungsi yaitu fungsi privat dan fungsi publik, fungsi privat lelang terletak pada hakekat lelang ditinjau dari sisi perdagangan. Lelang dalam dunia perdagangan pada dasarnya merupakan alat untuk mengadakan perjanjian jual beli yang menguntungkan para pihak yang terkait.
Adapun fungsi publik dari lelang tercermin dalam tiga hal yaitu :
a. Mengamankan asset yang dimiliki atau dikuasai oleh Negara untuk meningkatkan
b. efisiensi dan tertib administrasi dari pengelolaan asset tersebut;
c. Pelayanan penjualan barang dalam rangka mewujudkan law enforcement yang mencerminkan keadilan, keamanan dan kepastian hokum, mengumpulkan penerimaan Negara dalam bentuk bea lelang dan uang miskin
Sisi positif yang terkandung dalam pelaksanaan penjualan barang secara lelang antara lain adalah adil, aman, cepat dan efisien, harga wajar serta menjamin adanya kepastian hukum. Adil karena bersifat terbuka/transparan dan objektif. Aman karena disaksikan oleh pimpinan dan dilaksanakan oleh Pejabat Umum yang diangkat oleh Pemerintah dan yang bersifat independent. Cepat dan efisien, karena lelang didahului dengan pengumuman lelang sehingga peserta dapat berkumpul pada saat hari lelang dan pembayaran tunai. Harga wajar, karena menggunakan system penawaran yang bersifat kompetitif dan transparan serta menjamin adanya kepastian hukum, karena dilaksanakan oleh Pejabat Lelang dan dibuat Risalah Lelang sebagai akta otentik untuk proses balik nama ke atas nama kepada pemenang lelang.
Salah satu fungsi lelang atau penjualan dimuka umum yang tercermin dalam fungsi publik adalah adanya kepastian hukum, dimana seseorang atau pihak yang dinyatakan sebagai pemenang lelang akan memperoleh suatu kepastian dari pejabat lelang bahwa yang bersangkutan dijamin hak-haknya dalam kepemilikan benda yang dijadikan objek pada pelelangan setelah yang bersangkutan dinyatakan sebagai pemenang, namun dalam praktek di lapangan tidak selalu pelaksanaan lelang berjalan secara adil, aman, cepat, efisien dan adanya kepastian hukum sesuai dengan harapan yang diinginkan. Terbukti dari kasus yang terjadi di lapangan dimana si pemenang lelang tidak dapat memperoleh apa yang diharapkan dari pembelian tanah dan bangunan secara lelang yang adil, aman, cepat efisien dan mendapatkan kepastian hukum.


b. Jenis dan Bentuk Lelang.
Penggolongan lelang dapat dilihat dari cara:
1. Penggolongan lelang dari cara penawarannya;
Penggolongan lelang dari cara ini merupakan penggolongan lelang berdasarkan cara penawaran yang dilakukan oleh pejabat lelang. Cara penawaran ini dapat dilakukan dengan cara lisan dan tertulis. Penggolongan penawaran secara lisan ini cukup dengan mengucapkan atau menyatakan dengan tutur kata didepan peserta lelang. Pelelangan dengan cara tertulis merupakan penawaran yang dilakukan dengan bentuk tertulis. Penjual atau pejabat lelang telah menyiapkan harga barang yang akan dilelang kepada peserta lelang, peserta lelang tinggal menawarkan sesuai dengan harga yang diinginkannya.
2. Penggolongan lelang dari aspek objek;
Lelang dari jenis ini merupakan pelelangan berdasarkan pada objek atau barang/benda yang akan dilelang oleh juru lelang. Penggolongan lelang ini dapat dibagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu benda bergerak dan benda tidak bergerak. Benda bergerak merupakan benda yang berpindah atau dipindah tangankan, sedangkan benda tidak bergerak (onroerene goederen) merupakan benda yang tidak berpindah atau dipindahkan.
3. Penggolongan lelang dari aspek eksekusi.
Penggolongan lelang dari aspek eksekusi merupakan pelelangan yang dilaksanakan berdasarkan atas dasar adanya putusan pengadilan. Penggolongan lelang dari aspek ini dibagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu eksekusi dan non eksekusi. Pelelangan non eksekusi merupakan pelelangan yang dilaksanakan tanpa adanya putusan hakim. Pelelangan eksekusi adalah pelaksanaan lelang berdasarkan putusan hakim atau yang disamakan dengan itu.
c. Asas, Fungsi dan Tujuan Lelang.
d. Keunggulan dan Kelemahan Lelang.
e. Mekanisme Lelang.

4. Tinjauan Umum Tentang Perbankan.


A. Pengertian Bank
Berdasarkan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 jo Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang dimaksud dengan bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan penyalurannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau dalam bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup orang banyak.
Menurut kamus istilah hukum Fockhema Andreae, yang dimaksud dengan “bank ialah suatu lembaga atau orang pribadi menjalankan perusahaan dalam menerima dan memberikan uang dari dan kepada pihak ketiga. Sedangkan bank dalam arti luas adalah orang atau lembaga yang dalam pekerjaannya secara teratur menyediakan uang untuk pihak ketiga, jadi usaha perbankan pada dasarnya merupakan suatu usaha simpan pinjam demi dan untuk kepentingan pihak ketiga tanpa memperhatikan bentuk hukumnya apakah perorangan ataukah badan hukum (recht person).”


Beberapa para ahli berpendapat mengenai pengertian bank dan perbankan dengan melihat dari berbagai sudut pandang yang berbeda. Sebagai gambaran umum seperti yang dikemukakan oleh A. Abdurahman bahwa “bank adalah suatu lembaga keuangan yang melaksanakan berbagai macam jasa seperti memberikan pinjaman, mengedarkan mata uang, pengawasan mata uang, bertindak sebagai tempat penyimpanan barang berharga, membiayai usaha-usaha perusahaan, dan lain-lain.”
Bank merupakan perusahaan yang bergerak dalam bidang keuangan yang kegiatan utamanya menerima simpanan giro, tabungan dan deposito, kemudian bank juga dikenal sebagai tempat untuk meminjam uang bagi masyarakat yang membutuhkan disamping itu bank merupakan tempat untuk menukar uang, memindahkan uang atau menerima segala macam bentuk pembayaran dan setoran dari nasabah.
Ada pula ahli yang memberikan definisi bank kedalam beberapa pengertian yang antara lain adalah:
1. Bank umum adalah lembaga keuangan, pencipta uang, pengumpul dana dan penyalur kredit, pelaksana lalu lintas pembayaran, stabilisator moneter serta dinamisator pertumbuhan perekonomian;
2. Bank adalah lembaga keuangan yang berbentuk badan usaha yang kekayaannya terutama dalam bentuk aset keuangan (financial assets) serta bermotifkan profit dan juga sosial, jadi bukan hanya mencari keuntungan saja;
3. Bank adalah pencipta uang dimaksudkan bahwa bank menciptakan uang giral dan mengedarkan uang kartal. Penciptaan dan pengedaran uang kartal (uang kertas dan logam) merupakan otoritas tunggal bank sentral (Bank Indonesia), sedangkan uang giral dapat diciptakan bank umum;
4. Bank adalah pengumpul dana dan penyalur kredit berarti bank dalam operasinya mengumpulkan dana kepada Surplus Spending Unit (SSU) dan menyalurkan kedit kepada Defisit Spending Unit (DSU).
Pasal 4 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjelaskan bahwa Bank Indonesia merupakan bank sentral yang berfungsi sebagai lembaga negara yang mempunyai wewenang untuk mengeluarkan alat pembayaran yang sah dari suatu negara, merumuskan dan melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, mengatur dan mengawasi perbankan, serta menjalankan leader of the last resort.
Dalam ketentuan umum Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan pada Pasal 1 poin 16 menyatakan bahwa nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa bank dan pada Pasal 1 poin 17 dijelaskan bahwa nasabah penyimpan adalah nasabah yang menempatkan dananya di bank dalam bentuk simpanan berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan.
Dari uraian pengertian bank tersebut dapat diketahui bahwa bank adalah badan usaha yang kegiatan utamanya menghimpun dana dari masyarakat dan memberikan pinjaman bagi masyarakat yang membutuhkan, disamping memberikan berbagai macam jasa seperti tempat menukar uang, memindahkan uang atau menerima pembayaran dan setoran dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Lembaga keuangan bank dalam mengelola uang harus dilandasi dengan kepercayaan yang diberikan kepada nasabah dan begitu pula sebaliknya. Apabila terjadi kesalahan dalam pengaturan uang, maka kerugian tidak hanya akan diderita oleh nasabah saja tetapi juga oleh bank itu sendiri.
B. Jenis-jenis Bank
Jenis bank seperti yang diatur oleh Pasal 5 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan menyatakan bahwa menurut jenisnya, bank terdiri dari Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat.
Pengertian Bank Umum menurut Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan menentukan bahwa bank umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan/atau berdasarkan prinsip syari’ah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran, selanjutnya dalam Pasal 1 angka 4 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 dinyatakan bahwa bank perkreditan Rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syari’ah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran
Pembagian jenis bank tersebut hanya mendasarkan pada segi fungsi bank, dimaksudkan untuk memperjelas ruang lingkup dan batas kegiatan yang dapat diselenggarakan.
Jenis bank dilihat dari kepemilikannya dibagi menjadi 3 (tiga) bagian yang antara lain adalah ;
1. Bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN) merupakan bank yang didirikan dan berfungsi berdasarkan atas Undang-undang yang ditetapkan oleh pemerintah.
2. Bank Umum Swasta merupakan bank yang hanya dapat didirikan dan menjalankan usahanya setelah mendapat izin dari pimpinan Bank Indonesia. Dalam hal ini diatur dalam Pasal 16, Pasal 21 dan Pasal 22 Undang-undang Nomot 10 Tahun 1998. Dalam hal pendiriannya Bank Umum Swasta diatur dalam surat keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/33/KEP/DIR tentang Bank Umum.
3. Bank Campuran merupakan bank umum yang didirikan bersama oleh 1 (satu) atau lebih bank umum yang berkedudukan di Indonesia dan didirikan oleh warga negara Indonesia dan atau Badan Hukum di Indonesia yang dimiliki sepenuhnya oleh warga negara Indonesia dengan satu atau lebih bank yang berkedudukan di luar negeri.
Pembagian jenis bank yang dilihat berdasarkan fungsinya, terdiri dari ;
1. Bank Sentral yang merupakan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Dasar 1945;
2. Bank Umum adalah bank yang dalam pengumpulan dananya menerima simpanan dalam bentuk giro, dan deposito serta dalam usahanya terutama memberikan kredit jangka panjang;
3. Bank Tabungan dalah bank yang dalam pengumpulan dananya terutama menerima simpanan dalam bentuk tabungan dan dalam usahanya terutama memperbungakan dananya dalam bentuk surat berharga;
4. Bank Pembangunan adalah bank yang dalam pengumpulan dananya terutama menerima simpanan dalam bentuk deposito dan atau mengeluarkan kertas berharga angka menengah dan jangka panjang serta dalam usahanya mengutamakan pemberian kredit jangka menengah dan jangka panjang di bidang pembangunan;
5. Bank lainnya adalah bank lain yang akan ditetapkan dengan Undang-undang menurut kebutuhan dan perkembangan ekonomi.

Berdasarkan institusi penciptaan uang, bank dibagi menjadi 2 jenis yaitu ;
1. Bank Primer adalah bank yang dapat menciptakan uang melalui simpanan masyarakat yang ada padanya yaitu simpanan uang likuid dalam bentuk giro. Umumnya bank ini merupakan bank-bank umum nasional maupun asing;
2. Bank Sekunder adalah bank yang tidak dapat menciptakan uang melalui simpanan masyarakat yang ada padanya dan bank ini umumnya terdiri dri bank desa, lumbung desa, bank pasar, bank pegawai, bank koperasi, atau bank-bank lain yang dapat dipersamakan dengan itu.
Jenis-jenis bank ditinjau dari status bank nya, terbagi menjadi ;
1. Bank Devisa merupakan bank yang dapat melaksanakn transaksi ke luar negeri atau yang berhubungan dengan mata uang asing secara keseluruhan, misalnya transfer ke luar negeri, pembukaan dan pembayaran letter of credit dan transaksi lainnya;
2. Bank Non Devisa merupakan bank yang belum mempunyai izin untk melaksanakan trasaksi sebagai bank devisa, sehingga tidak dapat melaksanakan transaksi seperti halnya bank devisa. Jadi transaksi Bank Non Devisa dilakukan dalam batas-batas negara.
Berdasarkan uraian diatas maka dapat diketahui bahwa jenis bank dapat dibedakan berdasarkan fungsi bank, kepemilikan bank, institusi penciptaan uang dan status bank.
C. Usaha Bank
Usaha bank apabila ditinjau dalam Pasal 6 hingga Pasal 15 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, maka dapat diketahui bahwa usaha bank dibedakan antara usaha bank umum dan usaha bank perkreditan rakyat. Usaha yang dijalankan bank umum lebih luas daripada usaha yang dijalankan oleh bank perkreditan rakyat, karena bank umum dapat mengkhususkan diri untuk melaksanakan kegiatan usaha tertentu dan memilih jenis usaha yang sesuai dengan keahlian dan bidang usaha yang dikembangkan.
Menurut Pasal 6 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan menentukan bahwa usaha bank umum meliputi :
f. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan untuk itu;
g. Memberikan kredit;
h. Memberikan surat pengakuan utang;
i. Membeli, menjual atau menjamin atas resiko sendiri maupun untuk kepentingan dan atas perintah nasabahnya;
1. Surat-surat wesel termasuk wesel yang diakseptasi oleh bank yang masa berlakunya tidak lebih lama daripada kebiasaan dalam perdagangan surat-surat yang dimaksud;
2. Surat pengakuan utang dan kertas dagang lainnya yang masa berlakunya tidak lebih lama dari kebiasaan dalam perdagangan surat-surat yang dimaksud;
3. Kertas pembendaharaan negara dan surat jaminan pemerintah;
4. Sertifikat Bank Indonesia (SBI);
5. Obligasi;
6. Surat dagang berjangka waktu sampai dengan 1 (satu tahun);
7. Instrumen surat berharga lain yang berjangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun.
j. Memindahkan uang baik untuk kepentingan sendiri maupun kepentingan nasabah;
k. Menempatkan dana, meminjamkan dana dari atau meminjamkan dana kepada bank lain, baik dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi maupun dengan wesel tunjuk, cek atau sarana lainnya;
l. Menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan perhitungan dengan atau antara pihak ketiga;
m. Menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga;
n. Melakukan kegiatan penitipan untuk kepentingan pihak lain berdsarkan suatu kontrak;
o. Melakukan penempatan dana dari nasabah kepada nasabah lainnya dalam bentuk surat berharga yang tidak tercatat di bursa efek;
p. Dihapus;
q. Melakukan kegiatan anjak piutang, usaha kartu kredit dan kegiatan wali amanat;
r. Menyediakan pembiayaan dan atau melakukan kegiatan lain berdasarkan prinsip syari’ah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia;
s. Melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan oleh bank sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Lebih lanjut usaha bank umum sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 7 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan menentukan bahwa selain melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 , bank umum dapat pula :

a. Melakukan kegiatan dalam valuta asing dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia;
b. Melakukan kegiatan penyertaan modal pada bank atau perusahaan lain di bidang keuangan, seperti sewa guna usaha, modal ventura, perusahaan efek, asuransi serta lembaga kliring penyelesaian dan penyimpanan dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia;
c. Melakukan kegiatan penyertaan modal sementara untuk mengatasi akibat kegagalan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syari’ah dengan syarat harus menarik kembali penyertaannya dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia;
d. Bertindak sebagai pendiri dana pensiun dan pengurus dana pensiun sesuai dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan dana pensiun yang berlaku.
Bank umum dalam melakukan kegiatan usahanya menurut Pasal 1 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan menentukan bahwa bank umum dilarang;
a. Melakukan penyertaan modal, kecuali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b dan huruf c;
b. Melakukan usaha perasuransian;
c. Melakukan usaha lain diluar kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan 7;
d. Menempatkan dananya dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI), deposito berjangka, sertifikat deposito dan atau tabungan pada bank lain.
Bank perkreditan rakyat dalam melaksanakan kegiatan usahanya menurut Pasal 14 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan menentukan bahwa bank perkreditan rakyat dilarang untuk:
a. Menentukan simpanan berupa giro dan ikut serta dalam lalu lintas pembayaran;
b. Melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing;
c. Melakukan penyertaan modal;
d. Melakukan usaha perasuransian;
e. Melakukan usaha lain di luar kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13.
Menurut Frank J.Fabozzi, Franco Meodigliani, Michael G, Ferri yang diterjemahkan oleh Chaerul Djukman menerangkan usaha bank terbagi tiga, antara lain:
1. Individual Banking;
Individual Banking meliputi usaha kredit konsumen (custumer lending), kredit hipotek perumahan (residential mortgage lending), kredit angsuran konsumen (custumer instalment loans), pembiayaan kartu kredit, kredit pendidikan dan jasa-jasa investigasi keuangan yang berorientasi pada individu seperti jasa-jasa penyimpanan kekayaan pribadi dan jasa-jasa investasi.
2. Institusional Banking;
Institusional Banking merupakan usaha bank yang meliputi sertifikat bank, kertas pembendaharaan negara dan jaminan pemerintahan, surat dagang berjangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun dan obligasi.
3. Global Banking;
Global Banking merupakan usaha bank yang meliputi penempatan dana nasabah kepada nasabah bank lainnya dalam bentuk surat berharga yang tidak tercatat di bursa efek, menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga dari nasabah dan atau pihak ketiga, melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan oleh bank sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan yang berlaku.
Berdasarkan uraian usaha bank tersebut di atas maka dapat diketahui kegiatan usaha yang boleh dilakukan oleh bank umum dan bank perkreditan rakyat berikut usaha yang tidak boleh dilakukan oleh bank umum dan bank perkreditan rakyat.
D. Asas, Fungsi dan Tujuan Perbankan
Asas perbankan menurut Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan menentukan bahwa perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian. Menurut penjelasan Pasal 2 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang dimaksud dengan demokrasi ekonomi adalah Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.
Lembaga perbankan dalam melakukan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi yang merupakan dasar dari kegiatan perekonomian yang mempunyai arti bahwa masyarakat harus memegang peranan aktif dalam kegiatan perbankan, disamping itu pemerintah juga berkewajiban memberi pengarahan dan bimbingan serta menciptakan iklim yang sehat bagi perkembangan dunia usaha terutama kegiatan perbankan.
Mengenai fungsi perbankan sebagaimana menurut Pasal 3 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, menentukan bahwa fungsi utama perbankan Indonesia sebagai penghimpun dana masyarakat dan menyalurkan dana tersebut ke masyarakat. Lebih lanjut menurut Pasal 4 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan menyatakan bahwa Perbankan Indonesia bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak.
Bank selain bertindak berdasarkan undang-undang bank juga memiliki misi dan fungsi yang khusus, seperti fungsi yang diarahkan sebagai agen pembangunan (agent of development) yaitu sebagai lembaga yang bertujuan guna mendukung pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional, kearah peningkatan taraf hidup rakyat banyak.
Rachmadi Usman mengemukakan bahwa bank berfungsi sebagai ”financial intermediary” dalam kegiatan usaha pokok menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat atau pemindahan dana masyarakat dari surplus unit kepada unit defisit atau pemindahan uang dari nasabah kepada peminjam, atau oleh karena fungsi perbankan tersebut diatas maka perbankan bertujuan menunjang sebagian tegas penyelenggara negara antara lain:
1. Menunjang pembangunan nasional termasuk pembangunan daerah, dalam arti bukan melaksanakan misi suatu golongan apalagi perseorangan. Jadi perbankan Indonesia diarahkan untuk menjadi agen pembangunan;
2. Dalam rangka mewujudkan trilogi pembangunan nasional, yakni:
a. Meningkatkan pemerataan kesejahteraan rakyat banyak;
b. Meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional;
c. Meningkatkan stabilitas nasional yang sehat dan dinamis;
3. Peningkatan perlindungan dana masyarakat yang dipercayakan kepada bank, selain melalui penerapan prinsip kehati-hatian juga pemenuhan ketentuan persyaratan kesehatan bank serta berfungsi untuk mencegah terjadinya praktek-praktek yang merugikan kepentingan masyarakat luas.
Tujuan perbankan Indonesia dimaksudkan untuk melancarkan pembangunan dibidang ekonomi melalui aspek perbankan agar masyarakat dapat merasakan keamanan dalam mempercayakan uang yang mereka simpan di bank.
Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat diketahui bahwa perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian dan perbankan memiliki fungsi sebagai penghimpun dana masyarakat dan menyalurkan dana tersebut ke masyarakat yang bertujuan untuk mendukung pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional, kearah peningkatan taraf hidup rakyat banyak. Berdasarkan pengertian perbankan diatas, maka dapat dirumuskan bahwa hukum perbankan merupakan serangkaian kaidah-kaidah yang mengatur tentang badan usaha perbankan.



II. Tinjauan Umum Tentang Kredit
A. Pengertian Kredit
Istilah kredit berasal dari bahasa latin “credere” yang artinya kepercayaan. Oleh karena itu dasar utama dalam pemberian kredit oleh bank yaitu kepercayaan. Atas dasar kepercayaan kepada seseorang yang memerlukan kredit maka diberikan kredit dengan dasar membayar kembali atau memberikan penggantian dalam jangka waktu yang telah diperjanjikan.
Pasal 1 butir 11 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan menentukan bahwa kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.
Pengertian kredit menurut Savelberg bahwa kredit mempunyai arti sebagai dasar dari setiap perikatan (verbintenis) dimana seseorang berhak menuntut sesuatu dari yang lain dan juga sebagai jaminan, dimana seseorang menyerahkan sesuatu pada orang lain dengan tujuan memperoleh kembali apa yang diserahkannya itu.
Pengertian kredit dikemukakan oleh Levy bahwa kredit adalah penyerahan secara sukarela sejumlah uang untuk dipergunakan secara bebas oleh penerima kredit. Penerima kredit berhak mempergunakan pinjaman tersebut untuk mencari keuntungannya dengan kewajiban mengembalikan jumlah pinjaman itu dibelakang hari.
Pengertian kredit menurut Muchdarsyah Sinungan menyatakan bahwa kredit adalah suatu perbuatan prestasi oleh suatu pihak lainnya dan prestasi itu akan dikembalikan lagi pada masa tertentu yang akan datang dan disertai dengan suatu kontra prestasi berupa uang.
Dari uraian pengertian kredit tersebut diatas dapat diketahui bahwa kredit merupakan penyerahan sejumlah uang berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam oleh kreditur kepada debitur dengan kewajiban mengembalikan pinjaman tersebut pada masa tertentu yang disertai dengan bunga maupun tidak disertai dengan bunga.
B. Jenis-Jenis Kredit
Jenis kredit yang diberikan oleh bank kepada masyarakat apabila ditinjau dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan belum diatur secara jelas, namun demikian dari beberapa pendapat dapat dibedakan beberapa jenis kredit.
Menurut Kasmir bahwa secara umum jenis-jenis kredit dapat ditinjau dari berbagai sudut, antara lain:
a. Ditinjau dari sudut Kegunaannya
1. Kredit Investasi
Kredit yang digunakan untuk keperluan perluasan usaha, untuk pembangunan proyek/pabrik baru atau untuk keperluan rehabilitasi. Masa pemakaian kredit investasi dalam periode yang relatif lama.
2. Kredit Modal Kerja
Kredit yang digunakan untuk keperluan meningkatkan produksi dalam oprasionalnya. Misalnya kredit modal kerja digunakan untuk membeli bahan baku, membayar gaji pegawai atau biaya-biaya lainnya yang berkaitan dengan proses produksi perusahaa.
b. Ditinjau dari sudut jaminan
1. Kredit Dengan Jaminan
Kredit yang diberikan dengan suatu jaminan, jaminan tersebut dapat berbentuk barang berwujud atau tidak berwujud atau jaminan perorangan. Artinya setiap krediit yang dikeluarkan akan dilindungi senilai jaminan yang diberikan debitur.
2. Kredit Tanpa Jaminan
Kredit yang diberikan tanpa jaminan barang atau orang tertentu. Kredit tanpa jaminan diberikan dengan melihat prospek usaha dan karakter serta loyalitas atau nama baik calon debitur.
c. Ditinjau dari sektor usaha
1. Kredit Pertanian, merupakan kredit yang dibiayai untuk sektor perkebunan atau pertanian rakyat. Sektor usaha pertanian dapat berupa kredit jangka pendek atau kredit jangka panjang.
2. Kredit Peternakan, diberikan kredit jangka pendek misalnya peternakan ayam, dan kredit jangka panjang seperti kambing atau sapi.
3. Kredit Industri, yaitu kredit untuk membiayai industri kecil, menengah atau besar.
4. Kredit Pertambangan, jenis usaha tambang yang dibiayai dengan kredit jangka panjang, seperti tambang emas, minyak, timah.
5. Kredit Pendidikan, merupakan kredit yang diberikan untuk membangun sarana dan prasarana pendidikan.
6. Kredit Profesi, yaitu kredit yang diberikan kepada para profesional, seperti dosen, dokter atau pengacara.
7. Kredit Perumahan, yaitu kredit untuk membiayai pembangunan atau pembelian rumah.

Jenis kredit yang


C. Fungsi Kartu ATM
D. Keunggulan dan Kelemahan Menggunakan ATM
E. Mekanisme Kerja ATM


Tinjauan Umum Tentang Jaminan
F. Pengertian Jaminan
Dalam rangka pembangunan ekonomi Indonesia, bidang hukum yang meminta perhatian secara serius dalam pembinaan hukumnya diantaranya ialah lembaga jaminan. Pembinaan hukum dalam hukum jaminan merupakan sebuah konsekuensi logis dan merupakan perwujudan tanggung jawab pembinaan hukum yang mengimbangi lajunya kegiatan-kegiatan dalam bidang perdagangan, perindustrian, perseroan, pengangkutan dan kegiatan dalam proyek pembangunan.
Menurut Mariam Darus Badrulzaman memberikan pengertian jaminan sebagai berikut. Jaminan adalah suatu lembaga hukum berupa hak untuk mengambil pelunasan bagi perikatan.
Sebelum Undang-undang 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah terbentuk maka yang berlaku ialah ketentuan-ketentuan mengenai hypotheek tersebut dalam KUH Perdata Indonesia dan Crediet Verband tersebut dalam S.1908-542 sebagaimana telah dirubah dalam S.1937-190.
Setelah Undang-undang 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah berlaku maka hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lainnya.
Menurut W.J.S. Poerwodarminto dalam kamus besar Bahasa Indonesia mendefinisikan bahwa pengertian jaminan merupakan tanggungan, cagaran, garansi.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan Tanah didefinisikan bahwa hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yangdibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidakberikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untukpelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.
Menurut Mariam Darus Badrulzaman memberikan pengertian bahwa jaminan adalah suatu lembaga hukum berupa hak untuk mengambil pelunasan bagi perikatan.
Hak tanggungan adalah hak jaminan atas tanah untuk pelunasan piutang tertentu, yang memberikan kedudukan diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain. Dalam arti, bahwa apabila debitur cidera janji (wanprestasi) maka kreditur pemegang hak tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum dan kreditur tersebut mempunyai hak untuk mendahului kreditur-kreditur yang lain.


G. Jenis-Jenis Lembaga Jaminan
Didalam hukum positif Indonesia dibagi menjadi 2 (dua) macam lembaga jaminan. Lembaga jaminan tersebut antara lain:
a. Jaminan Perorangan (Borgtocht atau perjanjian tanggungan).
Jaminan Perorangan atau Borgtocht yaitu bahwa jaminan yang diberikan kepada kreditur bukanlah suatu hak kebendaan, akan tetapi perorangan yaitu seorang pihak ketiga yang tidak mempunyai kepentingan apa-apa baik terhadap kreditur maupun terhadap debitur. Jaminan yang diberikan ini berupa pernyataan bahwa debitur dapat dipercaya akan melaksanakan kewajibannya seperti yang diperjanjikan. dengan syarat bila debitur tidak mungkin melaksanakannya maka pihak ketiga tersebut dengan mengikatkan diri untuk melaksanakan kewajiban perjanjian atas apa yang diperjanjikan debitur.
b. Jaminan Kebendaan.
Jaminan kebendaan yang terdiri dari benda bergerak dan tidak bergerak. Menurut sistem hukum perdata, benda bergerak dan tidak bergerak itu mempunyai arti penting dalam berbagai bidang yang berhubungan dengan penyerahan daluarsa (verjaring) kedudukan berkuasa (bezit) terhadap pembebanan atas jaminan.


H. Sifat dan Fungsi Jaminan
Berdasarkan sifat dan fungsinya jaminan dibedakan menjadi 4 (empat) macam, antara lain:
1. Jaminan Fidusia
2. Jaminan Hak Tanggungan;
3. Gadai;
I. Keunggulan dan Kelemahan Jaminan
J. Mekanisme Jaminan


BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Proses Pemungutan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan terhadap Objek Lelang di Kota Semarang
Bank merupakan lembaga keuangan yang dalam melakukan kegiatan usahanya harus berusaha seoptimal mungkin untuk memberikan pelayanan yang terbaik serta kepercayaan yang penuh kepada nasabahnya. Hal ini diberikan oleh pihak bank agar nasabah dapat mempercayakan bahwa uang yang mereka simpan akan aman, karena mengingat kegiatan operasional bank sangat bergantung pada kepercayaan dari nasabahnya.
Setiap bank harus memiliki prinsip tanggung jawab dalam melakukan kegiatannya sebagai pelaku usaha jasa pelayanan. Apabila terdapat ketidakpuasan atau kerugian yang diderita oleh konsumen perbankan akibat dari pemakaian produk atau jasa dari bank, maka pihak bank harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut. Pertanggungjawaban timbul apabila ada kerugian yang dirasakan meskipun kerugian tersebut tidak disebabkan oleh dirinya sendiri melainkan dari barang-barang yang dibawah pengawasannya, sebagaimana ketentuan yang diatur oleh pasal 1367 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang menyebutkan bahwa:



“Seorang tidak saja bertanggungjawab untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, tapi juga untuk kerugian yang disebabkan perbuatan orang-orang yang menjadi tanggugannya atau disebabkan oleh barang-barang yang berada dibawah pengawasannya.”
Prinsip tanggung jawab juga diterapkan oleh bank karena bank selaku korporasi dalam kapasitasnya sebagai badan hukum yang merupakan subjek hukum pemegang hak dan kewajiban. Setiap komponen organisasi memiliki kompetensi sesuai dengan tanggung jawab masing-masing sehingga nantinya bank mampu bertindak sebagai good corporate citizen (perusahaan yang baik).
Secara umum prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat dibedakan sebagai berikut:
1. Berdasarkan Unsur Kesalahan (liability based on fault);
Prinsip ini menyatakan seorang baru dapat dimintakan pertanggungjawaban hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukan, yang dimaksud kesalahan disini adalah unsur yang bertentangan dengan hukum. Pengertian hukum tidak hanya bertentangan dengan undang-undang tetapi juga kepatutan dan kesusilaan dalam masyarakat. Secara common sense, asas tanggung jawab ini dapat diterima karena adil bagi orang yang berbuat salah untuk mengganti kerugian bagi pihak korban atau dengan kata lain tidak adil jika orang yang tidak bersalah harus mengganti kerugian yang diderita orang lain. Prinsip ini dipegang teguh oleh pasal 1365, 1366, dan 1367 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Prinsip ini menyatakan seseorang baru dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya yaitu kesengajaan, kelalaian, dan tidak ada alasan pemaaf dan pembenar.
2. Praduga Selalu Bertanggung Jawab (presumption of liability);
Prinsip ini menyatakan tergugat (pelaku usaha) selalu dianggap bertanggung jawab sampai ia dapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah, jadi beban pembuktian ada pada tergugat. Tergugat harus menghadirkan bukti-bukti bahwa dirinya tidak bersalah, dengan begitu penggugat (konsumen) tidak berarti dapat sekehendak hati mengajukan gugatan karena tampak beban pembuktian terbalik diterima dalam prinsip tersebut. Posisi konsumen selalu terbuka untuk digugat balik oleh pelaku usaha jika konsumen gagal menunjukkan kesalahan si tergugat atau dengan kata lain tergugat mampu membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah.
3. Praduga Selalu Tidak Bertanggung Jawab (presumption of nonliability);
Prinsip ini kebalikan dari prinsip yang kedua, prinsip ini hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas yang pembatasannya biasanya secara common sense dapat dibenarkan. Penerapan prinsip ini adalah pada hukum pengangkutan dimana ketentuannya bahwa kehilangan atau kerusakan pada bagasi kabin/bagasi tangan yang biasanya dibawa dan diawasi oleh penumpang adalah tanggung jawab penumpang sendiri. Pelaku usaha tidak dapat diminta pertanggungjawabannya, namun demikian prinsip ini tidak lagi diterapkan secara mutlak, artinya bagasi tangan dapat diminta pertanggungjawaban kepada pengangkut sepanjang bukti kesalahan pengangkut dapat ditunjukkan. Pihak yang dibebankan untuk membuktikan kesalahan itu ada pada penggugat (penumpang).
4. Tanggung Jawab Mutlak (strict liability);
Prinsip ini menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan pertanggungjawaban pelaku usaha namun harus ada hubungan kausalitas antara subjek yang bertanggung jawab dan kesalahannya. Terdapat pengecualian yang memungkinkan pelaku usaha terbebas dari tanggung jawab seperti keadaan force majeure. Prinsip ini dalam perlindungan konsumen secara umum digunakan untuk “menjerat” pelaku usaha khususnya produsen barang yang memasarkan produknya yang merugikan konsumen. Asas tanggung jawab itu dikenal dengan nama product liability. Menurut asas ini, produsen wajib bertanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen atas penggunaan produk yang dipasarkannya. Gugatan product liability dapat dilakukan berdasarkan tiga hal yaitu melanggar jaminan misalnya khasiat yang timbul tidak sesuai dengan janji yang tertera dalam kemasan produk, ada unsur kelalaian seperti produsen lalai memenuhi standar pembuatan obat yang baik dan menerapkan tanggung jawab mutlak;
5. Pembatasan Tanggung Jawab (limitation of liability);
Prinsip ini sangat merugikan konsumen bila ditetapkan secara sepihak oleh pelaku usaha, sebaliknya sangat disenangi oleh pelaku usaha untuk dicantumkan sebagai klausula eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya. Dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen seharusnya pelaku usaha tidak boleh secara sepihak menentukan klausul yang merugikan konsumen termasuk membatasi maksimal tanggung jawabnya. Jika ada pembatasan mutlak harus berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang jelas.
Aspek pertama dalam pembahasan perlindungan konsumen merupakan persoalan tentang tanggung jawab produsen atas kerugian sebagai akibat yang ditimbulkan oleh produknya atau lazim disebut dengan tanggung jawab produk (produk liability). Menurut definisi yang diungkapkan oleh Agnes M. Tohar mengenai tanggung jawab produk merupakan tanggung jawab para produsen untuk produk yang telah dibawanya kedalam peredaran yang menimbulkan atau menyebabkan kerugian karena cacat yang melekat pada produk tersebut. Kata produk diartikan sebagai barang baik barang bergerak maupun yang tidak bergerak.
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, telah menggunakan prinsip semi-strict liability sebagaimana yang diatur dalam pasal 19 Bab IV tentang Tanggung Jawab Pelaku Usaha dijelaskan sebagai berikut:
1. Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan;
2. Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
3. Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi;
4. Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan;
5. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.
Penerapan konsep strict liability dalam perlindungan konsumen khususnya tanggung jawab produk akan memudahkan pembuktian yang nantinya akan memberikan perlindungan kepada konsumen yang mengalami kerugian tersebut. Setiap tuntutan pertanggungjawaban harus memiliki dasar yang menyebabkan seseorang harus bertanggung jawab. Menurut hukum perdata dasar pertanggungjawaban ada 2 (dua) macam, yang pertama adalah pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan yang lahir karena terjadinya ingkar janji, timbulnya perbuatan melawan hukum, dan tindakan yang kurang hati-hati. Dasar yang kedua adalah resiko yang ada dalam peristiwa hukum yang terjadi yaitu tanggung jawab yang harus dipikul sebagai resiko yang harus diambil oleh seorang pengusaha atas kegiatan usahanya.
Melihat ketentuan di atas, berarti jelas bahwa mesin ATM yang merupakan produk yang sengaja dikeluarkan oleh bank untuk melayani transaksi keuangan nasabah secara otomatis tersebut menjadi tanggung jawab dari bank. Kerusakan mesin ATM merupakan resiko yang dimiliki oleh bank sebagai pelaku usaha jasa pelayanan, meskipun tujuan dikeluarkannya produk tersebut untuk mempermudah pelayanan kepada nasabah karena menjadi serba otomatis, namun mesin yang menggunakan sistem jaringan proxy dan teknologi elektonic banking ini bukan berarti bebas resiko.
Perlindungan konsumen perbankan saat ini tergantung dengan keadaan mesin ATM. Bank hanya akan bertanggung jawab atas kerusakan murni mesin dan kartu ATM, bank tidak akan bertanggung jawab apabila transaksi yang bermasalah disebabkan oleh pihak ketiga yang tidak bertanggung jawab. Semestinya bank bertanggung jawab menyediakan mesin ATM yang paling aman bagi nasabah namun, jika dilihat dari kenyataan yang ada saat ini bank belum mampu menyediakan mesin ATM yang tingkat keamanan mendekati transaksi konvensional seperti di counter bank. Jenis-jenis kerusakan murni mesin ATM yang terjadi dalam transaksi dan menimbulkan kerugian bagi nasabah yang menjadi tanggung jawab bank yaitu:
1. Gangguan jaringan proxy atau internet banking yang menimbulkan kemacetan atau ketidaksuksesan transaksi;
2. Sistem error komputerisasi ATM;
3. Gangguan jaringan listrik yang menimbulkan dua kemungkinan yaitu kartu ATM “tertelan” oleh mesin ATM dalam artian kartu tidak keluar dari slot kartu pada mesin atau tabungan yang menjadi objek transaksi tersebut jadi terdebet (uang tidak keluar) tetapi prosedur transaksi hampir selesai dilakukan, tinggal menunggu uang keluar atau berpindah ke rekening lain yang dituju.
Bank akan melaksanakan tanggung jawabnya selaku pelaku usaha jika kerugian yang diderita nasabah diakibatkan karena kerusakan tersebut diatas. Nasabah harus mengajukan tuntutan kepada pihak bank dengan mengisi formulir pengaduan nasabah yang tersedia di bank yang bersangkutan, jika tidak dilakukan maka konsekuensinya nasabah dianggap menerima dan tidak mempermasalahkan kerugian tersebut sehingga tanggung jawab bank menjadi lepas.
Apabila jenis transaksi yang dipermasalahkan adalah ketika tarik tunai dan transfer, kerusakan mesin terjadi sehingga menyebabkan uang terdebet (uang tidak keluar) atau dalam transaksi transfer uang tidak terkirim ke rekening yang dituju, maka bank akan membatalkan transaksi yang dianggap sukses sebelumnya oleh mesin ATM dan nasabah dapat mengulangi transaksi yang diinginkan tersebut kembali. Apabila jenis transaksi yang dipermasalahkan kerena kerusakan mesin ATM adalah pada saat melakukan pembayaran terhadap produk atau jasa yang bekerjasama dengan bank bersangkutan, maka bank akan menyukseskan transaksi pembayaran tersebut.
Bank tidak akan bertanggung jawab atas kerugian yang didapatkan nasabah karena kerusakan mesin ATM karena adanya perbuatan pihak ketiga yaitu dengan cara pengerusakan slot kartu yang ada pada mesin ATM sehingga transaksi menjadi bermasalah atau dengan pengerusakan tersebut dimaksudkan agar data yang ada di dalam kartu ATM nasabah yang bersangkutan menjadi terbaca kerahasiannya oleh pelaku pengerusakan untuk digunakan sebagai kejahatan. Kasus yang demikian mengakibatkan lepasnya pertanggungjawaban bank atas penggantian karena kerusakan mesin ATM, dengan posisi seperti ini nasabah dalam kedudukan yang lemah karena tetap mengalami kerugian meskipun telah mengajukan tuntutan. Tanggung jawab bank juga menjadi lepas apabila kartu ATM dipergunakan oleh orang-orang terdekat nasabah atau orang lain yang mengetahui nomor PIN ATM nasabah dengan tidak bertanggung jawab, yang mana seharusnya hanya nasabah sendiri yang mengetahui nomor PIN tersebut. Mesin ATM hanya beroperasi sesuai dengan prosedur yang diperintahkan tanpa memperdulikan siapa yang mengoperasikannya, meskipun mesin ATM sebagai wakil dari bank untuk melakukan transaksi, namun tidak ada pihak bank yang turut menyaksikan secara langsung kebenaran dari transaksi yang dilakukan sehingga kesepakatan terjadi secara otomatis ketika transaksi telah selesai dan sukses dilakukan.
Nasabah yang mengalami kerugian yang disebabkan oleh hal-hal diatas, tidak dapat diminta penggantian kerugian kepada pihak bank karena bank tidak memenuhi unsur-unsur pertanggungjawaban yaitu bank tidak melakukan kesalahan yang lahir karena terjadinya ingkar janji, timbulnya perbuatan melawan hukum, dan tindakan yang kurang hati-hati. Peristiwa tersebut juga bukan merupakan resiko bank dimana tanggung jawab harus dipikul bank sebagai resiko yang harus diambil oleh seorang pengusaha atas kegiatan usahanya. Nasabah dalam persoalan seperti ini, harus membuat laporan ke kepolisian setempat untuk diproses lebih lanjut dan diberikan keterangan oleh pihak kepolisian, kemudian nasabah dapat mengajukan pengaduan nasabah untuk dilakukan pemeriksaan kebenarannya atas transaksi yang dipermasalahkan untuk menjadi bukti terjadinya suatu peristiwa hukum tersebut.
Tanggung jawab BPD Sumsel Babel dalam penggantian kerugian yang diderita nasabah hanya sebatas kerugian yang disebabkan oleh kerusakan murni dari mesin ATM. Bank akan bertanggung jawab atas kesalahannya karena lalai untuk memelihara mesin ATM dengan baik, sehingga produk yang diedarkannya untuk melayani kebutuhan transaksi nasabah tersebut menjadi rusak dan menimbulkan kerugian bagi nasabah pengguna. BPD Sumsel Babel tidak akan mengganti kerugian apapun kepada nasabah apabila kerusakan mesin ATM atau kesalahan transaksi disebabkan oleh perbuatan pihak lain yang tidak memiliki kewenangan dari BPD Sumsel Babel atau dengan kata lain kerugian itu disebabkan oleh perbuatan pihak yang tidak bertanggung jawab seperti yang telah diuraikan sebelumnya, karena dalam hal yang demikian tidak ada unsur kesalahan yang dilakukan oleh bank. Tidak adil bagi bank selaku pihak yang tidak bersalah jika harus mengganti kerugian yang diderita nasabah karena kesalahan pihak lain yang tidak bertanggung jawab. Berdasarkan wujud dari tanggung jawab yang dilakukan oleh BPD Sumsel Babel seperti yang diuraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa BPD Sumsel Babel menganut prinsip pertanggungjawaban berdasarkan unsur kesalahan.

B. Akibat Hukum dari Verifikasi terhadap Objek Lelang Menurut Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Pada Bank Mandiri Cabang Semarang
Nasabah dalam menggunakan jasa perbankan, hanya memanfaatkan bank sebagai lembaga penyimpan serta penyalur dana dari dan kepada masyarakat. Nasabah selaku pengguna jasa tentu saja memiliki harapan agar kebutuhan transaksi keuangannya dapat dipenuhi oleh bank baik dari produk yang ditawarkan maupun pelayanan yang ada. Mengingat jumlah nasabah yang tidak sedikit dan diikuti dengan tingkat pemahaman dan pengetahuan nasabah mengenai produk dan jasa yang ditawarkan sangat beragam, memungkinkan adanya potensi nasabah yang tidak puas dengan pelayanan bank atau bahkan nasabah hingga mengalami kerugian finansial akibat kerusakan produk bank yang disediakan di tengah masyarakat.
Penyelesaian sengketa pada umumnya memilik dua (2) cara alternatif penyelesaian, termasuk juga penyelesaian dalam sengketa dibidang perbankan. Alternatif tersebut meliputi penyelesaian melalui litigasi (proses pengadilan) dan non litigasi (di luar proses pengadilan). Penyelesaian sengketa melalui proses pengadilan merupakan penyelesaian dengan menundukkan diri pada prosedur yang ditetapkan oleh negara, yaitu dengan mengajukan gugatan atau permohonan terlebih dahulu kepada Ketua Pengadilan yang berwenang mengadili perkara kemudian gugatan akan diperiksa kelengkapan dan kelayakannya oleh Kepaniteraan wilayah hukum setempat. Apabila gugatan diterima, maka proses persidangan akan dilaksanakan dengan pemberitahuan dan pemanggilan secara patut terlebih dahulu kepada masing-masing pihak yang bersengketa. Kewenangan untuk mengadili sengketa perbankan melalui litigasi adalah Pengadilan Umum dimana pengadilan tersebut mengatur dan memeriksa semua perkara permasalahan perdata dan pidana.
Secara umum pranata proses penyelesaian sengketa melalui non litigasi atau proses penyelesaian yang tidak melalui proses peradilan dibedakan dalam 6 (enam) bentuk. Bentuk-bentuk penyelesaian tersebut antara lain:
1. Mediasi;
2. Konsultasi;
3. Konsiliasi;
4. Pemberian pendapat hukum;
5. Negosiasi;
6. Arbitrase.
Penyelesaian sengketa secara damai merupakan penyelesaian yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang bersengketa tanpa melalui badan peradilan atau badan penyelesai sengketa lainnya serta tidak bertentangan dengan Undang-undang yang berlaku. Pihak bank dalam menyelesaikan sengketa perbankan cenderung tidak ingin melalui sistem peradilan karena bank ingin menjaga nama baik dengan tidak mempublikasikannya kepada masyarakat, disamping itu prosesnya yang relatif lama akan menyulitkan pihak bank.
Penyelesaian perkara di luar pengadilan (out of court settlement) atau OCS bukan hal baru dalam sistem hukum dan praktek hukum di Indonesia. Sudah sejak lama dalam perkara perdata, OCS dapat dilakukan para pihak yang bersangkutan untuk melakukan perdamaian (dading). Berdasarkan pasal 130 ayat 1 dan ayat 3 HIR yang mengatur tentang masalah perdamaian, perjanjian perdamaian harus dimuat dalam akta perdamaian. Akta tersebut berkekuatan hukum tetap sebagai putusan pengadilan dan bersifat final tetapi perdamaian diluar pengadilan merupakan persetujuan para pihak yang bersifat sementara karena itu tidak mengikat sebagaimana perdamaian dimuka pengadilan.
Sebelum terbitnya Arsitektur Perbankan Indonesia, masalah perlindungan hukum konsumen perbankan masih kurang bahkan belum memperoleh perhatian dan tempat yang baik didalam sistem perbankan nasional. Arsitektur Perbankan Indonesia merupakan suatu kerangka dasar sistem perbankan Indonesia yang terdiri dari 6 pilar yang menyeluruh dan mengarah bentuk dan tatanan industri perbankan untuk rentang waktu lima sampai sepuluh tahun kedepan, keenam pilar tersebut meliputi :
1. Struktur perbankan yang sehat;
2. Sistem pengaturan yang efektif;
3. Sistem pengawasan yang independen dan efektif;
4. Industri perbankan yang kuat;
5. Infrastuktur pendukung yang mencukupi;
6. Perlindungan konsumen.
Dalam rangka menangani permasalahan tersebut, saat ini sudah mulai mendapatkan perhatian dan tempat yang khusus sebagaimana terlihat dengan dicantumkannya perlindungan konsumen sebagai salah satu pilar dalam Arsitektur Perbankan Indonesia, dengan mengangkat masalah perlindungan konsumen tersebut menunjukkan besarnya komitmen Bank Indonesia dan industri perbankan untuk menempatkan konsumen jasa perbankan dalam posisi yang sejajar dengan bank.
Upaya perlindungan konsumen perbankan dituangkan dalam empat aspek yang saling berkaitan untuk meningkatkan perlindungan dan pemberdayaan nasabah yaitu :
1. Penyusunan standar mekanisme pengaduan nasabah;
2. Pembentukan lembaga mediasi perbankan;
3. Penyusunan standar mekanisme transparansi informasi produk;
4. Peningkatan edukasi untuk nasabah;
Penyusunan standar mekanisme pengaduan nasabah dan pembentukan lembaga mediasi perbankan ditujukan untuk mengatasi permasalahan antara bank dengan nasabah yang kini tengah terjadi, sedangkan penyusunan standar mekanisme transparansi informasi produk ditujukan sebagai sarana awal untuk mencegah terjadinya perselisihan antara bank dengan nasabah, khusus peningkatan edukasi untuk nasabah, pelaksanaannya perlu diperluas hingga kepada calon nasabah agar yang bersangkutan mengetahui informasi mengenai kegiatan, usaha, dan produk serta jasa yang dikeluarkan oleh bank.
Sering kali kita melihat dikehidupan sehari-hari, kenyataannya nasabah selalu lemah karena terletak pada posisi yang kurang menguntungkan apabila terjadi perselisihan antara bank dengan nasabahnya. Berdasarkan kenyataan tersebut, dalam rangka mengatasi permasalahan yang sering terjadi, bank bersama-sama dengan nasabah perlu memiliki aturan untuk memperkuat posisi nasabah demi perlindungan hukum konsumen. Penerbitan aturan mengenai mekanisme pengaduan nasabah serta pembentukan lembaga mediasi perbankan memberikan udara segar bagi nasabah yang mengalami permasalahan dalam transaksi perbankan khususnya yang disebabkan oleh kerusakan mesin ATM. Aturan mengenai mekanisme penyelesaian pengaduan nasabah sebagaimana tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah mengandung ketentuan pokok yang diantaranya adalah :
a. Mewajibkan setiap bank untuk menyelesaikan pengaduan yang diajukan secara lisan atau tertulis oleh nasabah dan atau perwakilannya termasuk yang diajukan oleh suatu lembaga, badan hukum, dan atau bank lain yang menjadi nasabah bank tersebut;
b. Setiap nasabah termasuk walk in custumer (nasabah yang tidak mempunyai rekening), memiliki hak untuk mengajukan pengaduan;
c. Pengajuan pengaduan dapat dilakukan oleh perwakilan nasabah yang bertindak atas nama nasabah berdasarkan surat kuasa khusus dari nasabah yang bersangkutan.
Melihat ketentuan pokok yang diatur oleh Peraturan Bank Indonesia diatas, jelas mengatur bahwa nasabah diberikan hak untuk mengajukan pengaduan termasuk mengadukan kerugian yang dideritanya akibat menggunakan produk yang dikeluarkan oleh bank seperti mesin ATM. Pengaduan ini disebut dengan komplain ATM, disamping itu mendengarkan dan melayani dengan baik pengaduan dari nasabah merupakan kewajiban dari pihak bank, karena hal ini diatur secara tegas oleh Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen pasal 7 huruf b dan c yang menyebutkan bahwa kewajiban pelaku usaha adalah :
Pasal 7 huruf b,
“Memberikan informasi yang benar jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta member penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan”
Pasal 7 huruf c,
“Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta. tidak diskriminatif.”
Berdasarkan ketentuan peraturan mengenai perlindungan konsumen serta penyelesaian pengaduan nasabah tersebut, untuk menanggulangi pengaduan nasabah atas kerugian yang diderita akibat dari kerusakan mesin ATM saat melakukan transaksi, nasabah harus mengajukan komplain mengenai fasilitas ATM dengan cara mengisi formulir pengaduan nasabah kepada bank yang mengeluarkan kartu ATM.
Mekanisme yang harus ditempuh untuk mendapatkan layanan pengaduan nasabah, diawali dengan melaporkan kerusakan mesin ATM dan kerugian yang didapatkan nasabah saaat melakukan transaksi dengan menggunakan mesin ATM tersebut kepada bank yang mengeluarkan kartu ATM, pihak bank yang bertugas mendengarkan laporan ini adalah custumer service kemudian oleh custumer service yang mendengarkan pengaduan tersebut diberikanlah formulir pengaduan nasabah yang berjenis formulir Komplain ATM untuk diisi dan diserahkan kembali secepatnya oleh nasabah ke pihak bank.
Laporan pengaduan nasabah menurut ketentuan peraturan tentang penyelesaian pengaduan nasabah harus diselesaikan ke nasabah dalam waktu 20 hari kerja dapat diperpanjang 20 hari kerja berikutnya dan dilaporkan ke Bank Indonesia. Menurut Shellyanto jangka waktu nasabah untuk mengajukan pengaduan paling lama hingga 1 (satu) tahun terhitung setelah dilakukan transaksi, kemudian pengaduan atas kerusakan mesin ATM tersebut akan diproses dengan melihat sistem transaksi melalui hasil rekaman Closed Circuit Television (CCTV) yang terpasang di bilik mesin ATM serta pemeriksaan kesesuaian transaksi melalui data dan neraca tabungan yang ada di bank. Pemeriksaan tersebut dilakukan untuk melihat benar atau tidaknya laporan atas transaksi yang dipermasalahkan, dengan pemeriksaan tersebut juga dapat diketahui batasan tanggung jawab yang akan diselesaikan oleh pihak bank. Apabila telah ditemukan titik kesalahan atau kerusakan mesin ATM yang menyebabkan transaksi menjadi bermasalah, maka proses transaksi yang terhambat tersebut akan disukseskan dan akan dilakukan kredit (uang masuk) ke rekening nasabah yang melakukan transaksi, namun sebaliknya bilamana kesalahan bukan disebabkan oleh mesin ATM yang tidak beroperasi dengan baik, maka bank akan mengirimkan surat pemberitahuan bahwa transaksi yang dilakukan telah sesuai dan uang yang dikeluarkan atau dipindahkan telah benar atau sama dengan transaksi yang diinginkan nasabah. Bank tidak akan bertanggung jawab atas transaksi yang dipermasalahkan nasabah apabila bank menganggap dan mampu membuktikan bahwa transaksi yang dilakukan oleh nasabah tidak bermasalah. Bank hanya akan menyelesaikan transaksi yang dipermasalahkan apabila karena kerusakan murni dari mesin ATM.
Berbagai macam tanggapan nasabah mengenai pelayanan perbankan yang menimbulkan permasalahan. Bank menganggap nasabah menerima pelayanan yang diberikan meskipun menimbulkan masalah apabila nasabah hanya diam dan pasrah menghadapi masalah tersebut, namun apabila nasabah yang tidak puas dengan pelayanan bank dengan mengajukan pengaduan kepada bank yang bersangkutan atau bahkan hingga melakukan pengaduan melalui sarana media massa, pihak bank baru akan menyelesaikan permasalahan tersebut. Pengaduan yang disampaikan oleh nasabah melalui media massa dapat menimbulkan dampak yang sangat beresiko bagi reputasi perbankan yang bersangkutan. Hal tersebut mengingat perkembangan operasional bank sangat bergantung pada tingkat kepercayaan masyarakat, maka dari itu bank harus berupaya optimal dalam melayani nasabah.
Persyaratan dan standarisasi minimum penanganan pengaduan nasabah oleh bank yang diatur oleh Peraturan Bank Indonesia. No. 7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah diharapkan dapat diselesaikan dengan baik sesuai dengan batas waktu yang telah ditetapkan yaitu 20 (dua puluh) hari kerja dan dapat diperpanjang 20 hari kerja berikutnya. Apabila nasabah merasa tidak puas dengan langkah-langkah penyelesaian yang telah diupayakan oleh bank, maka berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia. No. 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan sebagaimana yang telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia. No.10/1/PBI/2008, nasabah dapat mengajukan permohonan penyelesaian sengketa melalui mediasi perbankan kepada Bank Indonesia, dengan demikian berdasarkan ketentuan diatas permohonan penyelesaian sengketa melalui mediasi perbankan kepada Bank Indonesia juga dapat diajukan terhadap sengketa yang timbul akibat tidak puasnya nasabah akan penyelesaian masalah oleh bank karena kerusakan mesin ATM ketika proses transaksi sedang berlangsung.
Menurut Shellyanto, penyelesaian masalah ATM pada Bank Sumsel Palembang, tidak pernah hingga mencapai proses mediasi perbankan. Pengaduan nasabah mengenai komplain ATM pada Bank Sumsel Babel dapat diselesaikan dengan baik oleh masing-masing pihak. Bank Sumsel Babel menganggap masalah ATM hanya mengenai sistem jaringan sehingga tidak diperlukan penyelesaian melalui proses mediasi perbankan.
Mediasi perbankan sebagaimana yang diatur oleh Peraturan Bank Indonesia No. 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan adalah alternatif penyelesaian sengketa antara bank dan nasabah yang tidak mencapai penyelesaian yang melibatkan mediator untuk membantu para pihak yang bersengketa guna mencapai penyelesaian dalam bentuk kesepakatan sukarela terhadap sebagian ataupun seluruh permasalahan yang dipersengketakan. Pelaksanaan fungsi mediasi perbankan akan dijalankan oleh Bank Indonesia hingga akhir tahun 2007 sesuai dengan yang telah diatur oleh Peraturan Bank Indonesia No. 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan, karena itu mulai bulan Juni 2006 Bank Indonesia mewajibkan kepada seluruh bank di Indonesia untuk mengumumkan kepada nasabah bahwa telah tersedia mediasi perbankan beserta prosedur yang harus ditempuh nasabah. Apabila terdapat bank yang tidak melaksanakan amanat dari Bank Indonesia tersebut, maka akan diberikan sanksi berupa penurunan nilai tingkat kesehatan bank.
Pengaduan dan sengketa antara bank dengan nasabah merupakan hal yang tidak asing lagi terjadi, karena mengingat hal itu merupakan konsekuensi dari bisnis jasa pelayanan. Terhadap setiap resiko yang akan dihadapi, Bank Indonesia telah menyiapkan cara untuk mengantisipasinya bahkan ketika resiko sedang dihadapi Bank Indonesia juga memiliki solusi untuk penyelesaian melalui peraturan-peraturan yang dikeluarkannya. Keberadaan lembaga mediasi perbankan memberikan keuntungan bagi masing-masing pihak yang bersengketa yaitu antara bank dan nasabah. Tujuan diselenggarakannya lembaga mediasi perbankan ini adalah untuk memaksa seluruh bank agar bersedia dan peduli dalam menyelesaikan seluruh sengketa yang terjadi dengan nasabah yang jika dibiarkan berlarut-larut dapat berpotensi meningkatkan resiko reputasi sebuah bank yaitu resiko yang timbul akibat adanya publikasi negatif berkaitan dengan operasional bank atau persepsi negatif terhadap sebuah bank.
Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia tentang Mediasi Perbankan, apabila nasabah ingin menyelesaikan sengketa perbankan melalui mediasi perbankan maka nasabah harus mengajukan permohonan mediasi perbankan. Permohonan tersebut dilakukan oleh nasabah atau perwakilan nasabah dan bank dengan mengisi Formulir Pengajuan Penyelesaian Sengketa yang dapat diambil pada cabang bank yang bersangkutan, formulir beserta fotokopi surat hasil penyelesaian yang diberikan bank kepada nasabah, fotokopi identitas nasabah (KTP), dan fotokopi dokumen pendukung yang terkait dengan sengketa dikirimkan kepada Lembaga Mediasi Perbankan yaitu melalui Direktorat Investigasi dan Mediasi Perbankan Bank Indonesia di Menara Radius Prawiro Lt.20 Jalan MH. Thamrin No.2 Jakarta kode pos 10350 dengan tembusan disampaikan kepada bank yang bersangkutan.
Ketentuan peraturan perundang-undangan tentang Mediasi Perbankan telah mengatur bahwa pengajuan penyelesaian oleh nasabah tidak melebihi 60 (enam puluh) hari kerja sejak tanggal surat hasil penyelesaian pengaduan yang disampaikan bank kepada nasabah dan proses mediasi dilaksanakan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja yang dihitung sejak nasabah dan bank menandatangani perjanjian mediasi (agreement to mediate) sampai dengan penandatanganan Akta Kesepakatan.
Penyelesaian sengketa perbankan melalui proses mediasi perbankan meliputi tahapan sebagai berikut:
1. Bank telah berupaya melakukan penyelesaian pengaduan nasabah;
2. Sengeta yang diajukan sebelumnya pernah diupayakan penyelesaiannya oleh nasabah kepada bank;
3. Sengketa yang dapat diajukan penyelesaiannya kepada pelaksana fungsi mediasi perbankan adalah sengketa keperdataan yang timbul dari transaksi keuangan, potensi kerugian karena penundaan atau tidak dapat dilaksanakannya transaksi keuangan nasabah dengan pihak lain, dan atau biaya-biaya yang telah dikeluarkan nasabah untuk mendapatkan penyelesaian sengketa;
4. Sengketa yang dapat diselesaikan melalui mediasi perbankan hanya sengketa yang menyangkut aspek transaksi keuangan nasabah pada bank, dengan ketentuan nilai sengketa setinggi-tingginya adalah Rp. 500.000.000,- ;
5. Sebelum melakukan proses mediasi, nasabah dan bank harus menandatangani perjanjian mediasi yang memuat:
a. Kesepakatan untuk memilih mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa;
b. Persetujuan untuk patuh dan tunduk pada aturan mediasi.
6. Bank Indonesia selaku mediator akan memfasilitasi pertemuan antara bank dengan nasabah guna mencari penyelesaian. Pada saat pertemuan tersebut, mediator akan:
a. Bersikap netral;
b. Memotivasi para pihak untuk menyelesaikan sengketa;
c. Tidak memberikan rekomendasi atau keputusan. Hasil penyelesaian terhadap sengketa merupakan kesepakatan antara nasabah dengan bank.
7. Apabila dicapai kesepakatan, maka nasabah dan bank akan menandatangani akta kesepakatan.
8. Apabila tidak dicapai kesepakatan, nasabah dapat melakukan upaya penyelesaian lanjutan melalui arbitrase atau pengadilan.
Penyelesaian melalui mediasi perbankan biasanya menghasilkan kesepakatan antara bank dengan nasabah sehingga manfaat dari mediasi dapat dirasakan. Beberapa keuntungan yang didapat dari penyelesaian sengketa melalui mediasi adalah sebagai berikut:
1. Penyelesaian sengketa dengan cara yang cepat, biaya murah tidak lebih mahal dari pada penyelesaian melalui pengadilan dan arbitrase, karena dalam proses peyelesaian tidak diperlukan gugatan dan banding; Mendorong terciptanya iklim yang kondusif bagi para pihak yang bersengketa karena tetap menjaga hubungan kerjasama mereka yang sempat terganggu akibat terjadinya persengketaan antara mereka;
2. Proses mediasi bersifat informal dan menghasilkan putusan yang tidak memihak.
Setelah para pihak telah memenuhi proses yang disarankan oleh Bank Indonesia dan mediator telah menjalankan tugasnya dalam mendampingi para pihak untuk melakukan penyelesaian sengketa melalui mediasi perbankan, yang apabila dicapai kesepakatan oleh masing-masing pihak yang bersengketa maka para pihak akan menandatangani akta kesepakatan yang merupakan peraturan yang mengikat bagi mereka, wajib untuk dipatuhi karena peraturan tersebut merupakan kesepakatan bersama. Mekanisme penyelesaian sengketa perbankan karena kerusakan mesin ATM dalam transaksi perbankan pada PT. BPD Sumsel dan Bangka Belitung dapat dilihat pada bagan yang diuraikan di halaman berikutnya.



BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada bab I, II, dan III, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Tanggung jawab bank karena kerusakan mesin ATM dalam transaksi perbankan yang menyebabkan kerugian bagi nasabah Pada PT. Bank Pembangunan Daerah Sumatera Selatan dan Bangka Belitung yaitu memproses tuntutan ganti rugi oleh nasabah atas kerusakan mesin ATM. Bank hanya bertanggungjawab atas kerusakan murni mesin ATM. Bank tidak akan bertanggung jawab atas kerugian karena kerusakan mesin ATM oleh perbuatan pihak ketiga yang tidak bertanggung jawab.
2. Penyelesaian pengaduan nasabah dapat dilakukan dengan cara mengajukan pengaduan nasabah kepada bank yang terkait dengan mengisi formulir komplain ATM, lalu bank akan mencari bukti transaksi yang dipemasalahkan dengan melihat hasil rekaman CCTV yang ada di bilik mesin ATM dan menganalisis data transaksi di bank. Jika nasabah tidak puas dengan hasil penyelesaian dari bank maka nasabah dapat mengajukan penyelesaian sengketa melalui mediasi perbankan kepada Bank Indonesia. Apabila dari mediasi tadi dicapai kesepakatan, maka para pihak akan menandatangani akta kesepakatan namun jika tidak sepakat maka nasabah dapat melakukan upaya penyelesaian lanjutan melalui arbitrase atau pengadilan.
B. Saran
1. Pihak bank dalam hal terjadi kasus kerusakan mesin ATM dalam transaksi perbankan sehingga merugikan nasabah, agar lebih menjamin dan menjaga pemeliharaan mesin ATM dan meminimalisir resiko yang akan terjadi, karena menyediakan mesin ATM yang baik merupakan tanggung jawab dari pihak bank. Maraknya kasus kerusakan mesin ATM, akan menurunkan kepercayaan nasabah terhadap kinerja bank.
2. Penyelesaian kasus kerusakan mesin ATM ini dapat diselesaikan dengan mengajukan pengaduan nasabah jenis komplain ATM kepada pihak bank yang bersangkutan. Apabila pengaduan dari nasabah tidak dihiraukan oleh pihak bank atau hasil dari pengaduan tersebut tidak sesuai keinginan dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum, maka nasabah dapat mengajukan penyelesaian sengketa melalui mediasi perbankan.