Rabu, 15 Februari 2012

pelaksanaan pemungutan pajak BPHTB terhadap objek lelang eksekusi hak tanggungan

ABSTRAK

Meningkatnya kredit dengan agunan/jaminan berupa benda tidak bergerak yaitu tanah berfungsi untuk mengantisipasi risiko yang terjadi apabila debitur wanprestasi atau tidak sanggup untuk melakukan pelunasan terhadap kreditnya maka jaminan tersebut dijadikan pelunasan untuk utang-utangnya. Perjanjian kredit dengan hak tanggungan tersebut juga dilakukan pada PT. Bank Mandiri di Semarang untuk mengantisipasi risiko terhadap kegiatan perbankan. Risiko tersebut akan terjadi apabila debitur wanprestasi atau tidak mampu melunasi utang pada bank Mandiri di Semarang maka sudah sepatutnya berdasarkan hukum bahwa objek jaminan kredit tersebut akan dieksekusi melalui lelang eksekusi pada KPKNL Semarang.
Metode pendekatan yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode pendekatan yuridis empiris, yaitu suatu metode pendekatan yang meneliti data sekunder terlebih dahulu dan kemudian dilanjutkan dengan melakukan penelitian terhadap data primer di lapangan, spesifikasi yang digunakan dalam penelitian ini bersifat deskriptif analitis yang selanjutnya akan di analisis secara kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan, lelang eksekusi menyebabkan terjadinya peralihan hak kepada pemenang lelang. Pelaksanaan lelang eksekusi hak tanggungan terhadap perjanjian kredit pada Bank Mandiri di Semarang harus mengajukan permohonan dan memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh KPKNL, lelang pada KPKNL dipandu oleh pejabat lelang kelas I sebagai pegawai negeri yang ditunjuk dan ditugaskan oleh KPKNL serta dalam pelaksanaan lelang dilakukan melalui proses pra lelang, pelaksanaan lelang dan pasca lelang.
Peralihan hak terhadap objek lelang akan dikenakan pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan atau Bangunan (BPHTB). Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan bangunan pajak BPHTB objek lelang dilaksanakan oleh wajib pajak dengan sistem self assessment dan prosedur pembayarannya tidak sederhana karena keputusan Pejabat Lelang Kelas I yang tertuang dalam risalah lelang harus dilakukan penelitian/verifikasi oleh Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Kota Semarang instansi di bawah pemerintah daerah untuk melakukan pengelolaan keuangan dan aset daerah yang berwenang untuk memeriksa kebenaran informasi dan memeriksa kelengkapan dokumen pendukungnya berdasarkan database objek pajak serta melakukan penghitungan pajak BPHTB terutang oleh wajib pajak.



Kata Kunci : Hak Tanggungan, Lelang pada KPKNL, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).
ABSTRACT
The increased loan with collateral/ mortgage in the form of objects do not move such as land to anticipate the risk that will be happened if the debtor do not keep their promises to pay the debt or not able to pay off the repayment of the loan is used as repayment for the debts. The loan credit agreement with mortgage will be happened on PT. Bank Mandiri in Semarang to anticipate posed the risks to the banking activities. These risks will occured if the debtor do not keep their promises to pay the debt or not able to pay off the repayment of the debts at Mandiri Bank in Semarang so based of the laws on credit the mortgage, the object will be executed by the auction execution auction in KPKNL in Semarang.
Approaching method used in this paper is an empirical method of juridical approach, which is an approximation method that examines secondary data first and then proceed to conduct a study of primary data in the field, the specification used in this research is analytical descriptive which would then be analyzed with qualitative research.
Based on this research can be concluded, the auction execution involve the object of auction will transmigrate into the higher bidder or the conqueror auction. The auction execution of the loan credit agreement with mortgage on PT. Bank Mandiri in Semarang must apply and meet the requirements specified by KPKNL, bidding on auction in KPKNL guided by the official auction class I as a public servant who is appointed and commissioned by KPKNL as well as in the auction conducted through the pre auction, the auction and post auction.
The transition will be charged of tax Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) tax is a tax will imposed on the acquisition of land and buildings. BPHTB tax of the auction object held by the taxpayer with a system of self assessment and payment procedures are not simple becouse the decisions of official auction class I the decisions contained in the tract of auction have to do research/verification by the Department of Finance and Asset Management Areas under the regional of Semarang’s government agencies to make financial management and assets of local authorities to investigate the truth information and to investigate the completeness of supporting documents based on database tax objects and also to calculating the payable tax BPHTB by the taxpayer.


Key words: Mortgage, Auction on KPKNL, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) tax.




BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di era globalisasi, perekonomian merupakan faktor utama dalam kemajuan negara-negara di seluruh dunia, meskipun ada faktor lain yang menjadi pendukung perkembangan suatu negara akan tetapi jika suatu negara tidak didukung oleh faktor-faktor perekonomian maka negara tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai negara. Selain faktor perekonomian, terdapat faktor-faktor lain yang menjadi ujung tombak perkembangan suatu negara, ujung tombak tersebut antara lain faktor sosial, faktor politik dan faktor budaya. Akan tetapi di era globalisasi saat ini faktor perekonomian merupakan sebuah inti dari perkembangan suatu negara, baik itu bagi negara berkembang maupun negara maju.
Di dalam suatu negara, keberadaan faktor perekonomian tidak terlepas dari kegiatan perindustrian dan perdagangan karena faktor perindustrian dan perdagangan merupakan faktor pendukung perekonomian suatu negara. Apabila suatu negara tidak didukung oleh faktor perindustrian dan perdagangan maka perekonomian negara tersebut tidak akan berjalan baik atau bahkan akan berdampak pada krisis perekonomian.
1
Sebelum terjadinya reformasi pada tahun 1998, pemerintah selaku pengatur jalannya roda perekonomian masyarakat melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan taraf hidup masyarakatnya. Upaya-upaya pemerintah tersebut antara lain mendirikan bank-bank pemerintah dan koperasi sebagai lembaga penghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat, akan tetapi seiring dengan berjalannya waktu terjadi penggeseran yang menyebabkan koperasi jarang dipergunakan oleh masyarakat. Hal ini disebabkan karena masyarakat memiliki keterbatasan dalam menggunakan jasa koperasi. Oleh karena besarnya risiko yang harus diemban oleh masyarakat maka sebagian besar masyarakat lebih memilih bank dalam melakukan kegiatan keuangan daripada koperasi.
Pada tahun 1998 di Indonesia terjadi reformasi sebagai akibat dari krisis ekonomi yang berakibat pada banyaknya pelaku usaha yang mengalami krisis keuangan, maka untuk mengantisipasi krisis keuangan tersebut pemerintah menyediakan kredit melalui perantara bank, baik pemberian kredit kepada masyarakat melalui bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau bank Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dan bank swasta.
Dalam melaksanakan kegiatan perbankan, bank menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat melalui kredit dengan menerapkan prinsip kehati-hatian. Dalam pemberian kredit, bank memberikan bunga yang ditentukan oleh Bank Indonesia sebagai bank sentral yang sesuai dengan tujuannya sebagai otoritas moneter yang independen dan mempunyai tugas untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah, sehingga dalam melaksanakan tugas dimaksud perlu selalu diperhatikan pedoman berupa kebijakan moneter dengan prinsip kehati-hatian, agar terwujud sistem pembayaran yang cepat dan tepat serta sistem perbankan yang sehat. Batas bunga pemberian kredit maksimal sebesar 6,75% dari jumlah kredit dan dalam hal ini pemberian kredit yang disertai bunga dapat merugikan peminjam atau debitur karena debitur harus mengembalikan uang yang dipinjamnya beserta bunga. Meskipun kredit dapat merugikan debitur akan tetapi hingga saat ini permohonan pemberian kredit yang disertai bunga tetap digemari baik oleh pelaku usaha maupun masyarakat.
Pemberian kredit oleh bank bertujuan agar pelaku usaha dapat mendorong kegiatan usahanya untuk dapat kembali pulih dan dapat menjalankan usahanya dengan lancar. Akan tetapi untuk menjamin agar pemberian kredit itu tidak disalahgunakan dan untuk menjamin keuangan negara dalam pemberian kredit tersebut disertai dengan pemberian jaminan oleh pelaku usaha kepada pemerintah melalui bank-bank pemerintah seperti bank BUMN atau bank BUMD dan bank swasta yang jaminannya tersebut dapat berupa benda bergerak maupun benda tidak bergerak.
Dalam pelaksanaan kredit, kredit macet sering dialami oleh bank dan dalam hal ini menyebabkan terjadinya peningkatan terhadap jumlah kredit bermasalah, meskipun angka kredit yang diajukan debitur bervariasi akan tetapi besarnya kredit macet di dunia perbankan menjabarkan bahwa posisi perbankan nasional mengalami kesulitan.
Dalam pelaksanaan kredit, kredit bermasalah tidak hanya berpengaruh terhadap kesehatan bank namun di samping itu juga berpengaruh pada keamanan dana masyarakat karena dana masyarakat tersebut dihimpun oleh bank. Untuk menghindari kredit bermasalah, bank seharusnya telah melakukan analisa terhadap usaha, penghasilan serta kemampuan debitur. Apabila debitur tidak mampu menyelesaikan utangnya tepat pada waktunya kredit tersebut digolongkan dalam kredit yang diragukan sesuai perjanjian kredit serta tetap tidak ada pembayaran atau pelunasan dari pihak debitur, maka kredit tersebut telah digolongkan dalam kredit bermasalah.
Dalam perjanjian kredit dilakukan pengikatan terlebih dahulu antara debitur selaku peminjam dan kreditur yang dalam hal ini adalah bank. Pada umumnya perjanjian pengikatan terdapat dua unsur yang hadir secara bersamaan. Unsur-unsur tersebut antara lain schuld dan haftung. Schuld yang mewakili kewajiban pada diri debitur untuk memenuhi kewajiban, prestasi atau utang yang ada pada dirinya tersebut dengan tanpa memerhatikan ada tidaknya harta benda miliknya yang dapat disita oleh kreditur bagi pemenuhan piutang kreditur tersebut. Atau dengan kata lain schuld menunjukan adanya sisi kewajiban atau prestasi atau utang yang harus dilaksanakan, dipenuhi atau dibayar, tanpa memerhatikan ada tidaknya hak pada sisi kreditur untuk menuntut pemenuhan, pelaksanaan atau pembayaran suatu kewajiban, prestasi atau utang dari debitur. Perikatan dengan schuld tanpa haftung dalam perikatan yang lahir dari perjanjian yang dapat lahir karena tidak dipenuhinya klausa yang halal dari empat syarat lahirnya perjanjian yang ditentukan dalam Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Perikatan dengan haftung tanpa diikuti dengan schuld merupakan perjanjian perikatan yang jaminan kebendaannya dilakukan oleh pihak ketiga yang bertujuan untuk menanggung atau menjamin pemenuhan, pelaksanaan atau pembayaran suatu kewajiban yang dilakukan oleh debitur dan kreditur. Pada perikatan ini pihak ketiga telah meletakkan hak kebendaannya, yang setiap saat dapat disita dan dijual oleh kreditur untuk mengambil pelunasan terlebih dahulu atas piutang debitur apabila debitur wanprestasi terhadap perjanjiannya.
Objek jaminan dalam perjanjian pada hakikatnya tergantung pada perjanjian pokoknya, yaitu perjanjian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih yang melakukan perikatan utang piutang dimana debitur meminjam sejumlah uang dengan memberikan jaminan berupa objek kebendaan yang dokumen-dokumen kepemilikannya diberikan kepada kreditur sebagai jaminan apabila debitur wanprestasi. Objek kebendaan yang menjadi jaminan atas utang piutang akan dieksekusi apabila debitur tidak dapat memenuhi kewajiban untuk membayar utang maka dilakukan pelelangan umum. Berdasarkan Pasal 6 Undang-undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan Tanah (selanjutnya disebut Undang-undang Hak Tanggungan) eksekusi hak tanggungan melalui lelang merupakan salah satu penyelesaian sengketa yang digunakan sebagai pemenuhan kewajiban debitur. Apabila terdapat kelebihan dari hasil lelang eksekusi maka bank berkewajiban untuk menyerahkan sisa hasil pelelangan dikurangi biaya yang digunakan untuk pelaksanaan lelang dan utang kepada bank.
Berdasarkan Pasal 5 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.06 tahun 2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan mengatur tentang lelang eksekusi Pasal 6 Undang-Undang hak tanggungan melalui lelang maka hal ini yang menjadi dasar bank untuk melaksanakan eksekusi terhadap benda jaminan dengan cara pelelangan umum atas jaminan utang piutang yang telah jatuh tempo atau terhadap perjanjian kredit dengan jaminan yang tidak dapat dilanjutkan pembayaran oleh si berutang.
Berdasarkan Pasal 8 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.06 tahun 2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang, pelaksanaan lelang harus dilaksanakan oleh pejabat lelang yang terdiri dari pejabat lelang kelas I dan pejabat lelang kelas II yang penjelasannya diatur secara tersendiri dalam peraturan Menteri Keuangan. Ketentuan mengenai Pejabat Lelang Kelas I diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 174/PMK.06 Tahun 2010 tentang pejabat lelang kelas I dan ketentuan mengenai Pejabat Lelang Kelas II diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 175/PMK.07 Tahun 2010 tentang Pejabat Lelang Kelas II. Pelaksanaan lelang yang dilakukan oleh pejabat lelang kelas I dilaksanakan oleh pegawai Departemen Keuangan yang berada di Ibukota Provinsi dan Ibukota Negara yang disediakan oleh negara. Sedangkan Pejabat lelang kelas II dilaksanakan oleh swasta yang memiliki pendidikan paling rendah Sarjana (S1) diutamakan bidang hukum atau ekonomi manajemen/akuntansi yang telah mengikuti pelatihan dari Kementerian Keuangan dan telah lulus untuk menjadi pejabat lelang. Berdasarkan Pasal 17 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 175/PMK.07 Tahun 2010 tentang Pejabat Lelang Kelas II, pejabat lelang kelas II berkedudukan di kabupaten atau kota yang tidak disediakan oleh negara dan dalam melakukan usahanya pejabat lelang kelas II tidak dibiayai oleh negara dan dilakukan secara mandiri oleh masing-masing.
Lelang eksekusi hak tanggungan merupakan salah satu bentuk peralihan hak atas tanah yang dilakukan melalui Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (yang selanjutnya disebut dengan KPKNL) dan dalam peralihan hak tanah tersebut dikenakan pungutan pajak.
Permohonan lelang objek jaminan hak tanggungan melalui lelang eksekusi dilakukan oleh pemilik benda jaminan atas hak tanggungan yang dalam hal ini kreditur sebagai pemegang hak tanggungan dan pembeli yang dalam hal ini adalah pemenang lelang akan dikenakan pajak yang ditentukan Undang-undang.
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (yang selanjutnya disebut dengan BPHTB) merupakan salah satu jenis pajak yang dikenakan terhadap perolehan hak atas tanah dan bangunan, hal ini disebabkan karena BPHTB adalah suatu perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan yang merupakan suatu perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau bangunan oleh orang pribadi atau badan.
Berdasarkan Pasal 2 Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (yang selanjutnya disebut dengan Undang-undang PDRD) pelaksanaan pemungutan pajak terhadap Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan dilaksanakan sepenuhnya oleh pemerintah daerah dan dijadikan sebagai pajak daerah.
Sesuai dengan amanat Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, diharapkan dalam hal penganggaran Pendapatan Asli Daerah bersumber dari pajak daerah dan retribusi daerah. Penggenaan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) yang dikelola oleh pemerintah daerah diharapkan menjadi salah satu sumber pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah untuk meningkatkan dan pemerataan kesejahteraan rakyat.
Ketentuan ini dimaksud untuk memberikan keleluasaan kepada pemerintah daerah dalam mengantisipasi situasi dan kondisi serta perkembangan perekonomian daerah pada masa mendatang yang mengakibatkan perkembangan potensi pajak yang dapat dimanfaatkan pemerintah daerah untuk mengembangkan potensi yang terdapat di daerah tersebut secara maksimal.
BPHTB sebagai salah satu jenis pemungutan pajak daerah merupakan salah satu sumber pendapatan daerah yang berpotensi menunjang Anggaran Pembelanjaan Belanja Daerah (APBD). Dengan adanya pemungutan BPHTB yang pada awalnya merupakan pajak pusat dan menjadi pajak daerah diharapkan dapat meningkatkan pendapatan daerah asli itu sendiri.
Berdasarkan Pasal 85 Undang-undang PDRD, prinsip-prinsip yang dianut dalam penggenaan BPHTB terjadi pemindahan hak karena:
1. Jual beli;
2. Tukar menukar;
3. Hibah;
4. Hibah wasiat;
5. Waris;
6. Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain;
7. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
8. Penunjukan pembeli dalam lelang;
9. Pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
10. penggabungan usaha;
11. peleburan usaha;
12. pemekaran usaha; atau
13. hadiah.
Berdasarkan pada angka 8 (delapan) tentang penunjukan pembeli dalam lelang inilah yang menjadi dasar pengenaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan terhadap objek lelang dilakukan.
Menurut Pasal 1 Ketentuan Umum Undang-undang Nomor 16 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-daerah Kota Besar dalam Lingkungan Propinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Daerah Istimewa Yogyakarta menyebutkan bahwa Kota Semarang ditetapkan sebagai Kota Besar dalam lingkungan propinsi Jawa Tengah dan pada Pasal 4 menentukan bahwa Kota Semarang mempunyai kewajiban untuk melakukan urusan pemerintahan umum yang salah satunya adalah yang mempunyai kewenangan untuk membentuk panitia anselah pajak penghasilan, kekayaan dan personil (medebewind) serta menentukan Peraturan-peraturan sebagai peraturan yang mengatur tentang kota tersebut.
Kota Semarang yang merupakan wilayah perkotaan mempunyai kemampuan untuk menentukan peraturan yang mengatur masyarakatnya dan mempunyai kewajiban untuk mengatur tentang pajak daerah dan retribusi daerah maka berdasarkan ketentuan tersebut pemerintah daerah Kota Semarang membentuk Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (selanjutnya disebut dengan Perda Kota Semarang Nomor 2 Tahun 2011 tentang BPHTB).
Berdasarkan Pasal 5 ayat (7) Perda Kota Semarang Nomor 2 Tahun 2011 tentang BPHTB ditentukan mengenai besarnya nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak BPHTB ditetapkan sebesar Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) untuk setiap wajib pajak dengan pengecualian yang ditentukan dalam Pasal 5 ayat (8) apabila perolehan hak karena waris atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak BPHTB ditetapkan sebesar Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan untuk mengetahui Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP) diperoleh dari hasil pengurangan nilai perolehan objek pajak yang dikurangi nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak. Pengenaan tarif Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan ditetapkan adalah sebesar 5% (lima persen) dari Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) hal ini disebabkan karena Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) merupakan salah satu instrumen yang dalam keadaan tertentu dipergunakan sebagai dasar pengenaan BPHTB.
Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 ayat (2) Perda Kota Semarang Nomor 2 Tahun 2011 tentang BPHTB, terjadi dalam hal:
1. jual beli adalah harga transaksi;
2. tukar menukar adalah nilai pasar;
3. hibah adalah nilai pasar;
4. hibah wasiat adalah nilai pasar;
5. waris adalah nilai pasar;
6. pemasukan dalam peseroan atau badan hukum lainnya adalah nilai pasar;
7. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah nilai pasar;
8. peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap adalah nilai pasar;
9. pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah nilai pasar;
10. pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak adalah nilai pasar;
11. penggabungan usaha adalah nilai pasar;
12. peleburan usaha adalah nilai pasar;
13. pemekaran usaha adalah nilai pasar;
14. hadiah adalah nilai pasar; dan/atau
15. penunjukan pembeli dalam lelang adalah harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang.
Dalam hal Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) tidak diketahui atau lebih rendah dari pada Nilai Jual Objek Pajak (NJOP), maka yang dipergunakan adalah pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) pada tahun terjadinya perolehan hak. Menghitung besaran pajak yang terutang dihitung dengan cara mengalikan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) dengan Tarif Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan ditetapkan sebesar 5% (lima persen) Pajak Bumi dan Bangunan setelah dikurangi Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP).
Objek lelang dikenakan pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan serta dalam pelaksanaan lelang penunjukan pembeli dalam lelang adalah harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang yang menentukan pemenang lelang sejak tanggal penunjukan pemenang lelang tersebut diputuskan.
Pemungutan BPHTB terhadap objek lelang di Kota Semarang bukan hal yang sederhana, karena implementasi menyangkut dimensi interplasi, organisasi, dan dukungan sumber daya yang ada karena dasar pengenaan pajak BPHTB melalui objek tanah yang dilelang dengan cara pelelangan umum yang harus sesuai harga pasar dan menghasilkan harga transaksi berdasarkan putusan lelang yang tercantum dalam Risalah Lelang.
Pelaksanaan lelang objek jaminan tak tanggungan yang dilakukan oleh bank BUMN atau bank BUMD dan/atau bank swasta, termasuk dalam hal ini dilaksanakan oleh Bank Mandiri sebagai salah satu bank yang melaksanakan eksekusi terhadap barang yang menjadi jaminan utang atas piutang debitur apabila debitur tidak mampu untuk melakukan pemenuhan utangnya.
Pelaksanaan eksekusi terhadap benda jaminan melalui pelelangan umum yang dilakukan sebagai pemenuhan utang yang dilakukan debitur terhadap bank sebagai kreditur akan dikenakan pajak. Pengenaan pajak terhadap objek lelang dikenakan atas dasar Bank Mandiri merupakan Badan Usaha Milik Negara yang memiliki fungsi bank pada umumnya, yaitu menghimpun dana dari masyarakat dan mengalokasikannya kembali kepada masyarakat melalui kredit, hal ini berdasarkan pada Pasal 1 ayat (4) Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan apabila debitur wanprestasi maka objek jaminan kredit dilaksanakan lelang sebagai salah satu pemenuhan terhadap utang kredit yang diberikan oleh bank.
Perseroan Terbatas Bank Mandiri (Persero) Tbk yang disingkat dengan PT. Bank Mandiri (Persero) Terbuka (yang selanjutnya disebut dengan Bank Mandiri) didirikan pada 2 Oktober 1998, dalam hal ini merupakan bagian dari program restrukturisasi perbankan yang dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia melalui akuisisi terhadap 4 (empat) bank pemerintah, yaitu Bank Bumi Daya, Bank Dagang Negara, Bank Exim dan Bapindo yang dilebur menjadi Bank Mandiri bertujuan Menjadi Lembaga Keuangan Indonesia yang paling dikagumi dan selalu progresif.
Bank Mandiri adalah salah satu perusahaan lembaga keuangan yang fungsi utamanya menghimpun dana dan menyalurkan dana masyarakat. Dalam pelaksanaan kredit Bank Mandiri para debitur harus menyertakan jaminan, hal ini dimaksudkan untuk mengantisipasi apabila debitur wanprestasi atau tidak sanggup untuk melakukan pelunasan terhadap kreditnya maka jaminan tersebut dijadikan pelunasan untuk utang-utangnya.
Dalam melaksanakan kegiatan perkreditan, Bank Mandiri sebagai kreditur mempunyai peran memberikan kredit kepada debitur, kegiatan perkreditan merupakan proses pembentukan asset bank. Kredit merupakan risk asset bagi bank karena bank dikuasai oleh pihak luar bank yaitu para debitur.
Berdasarkan latar belakang tersebut, ditinjau dari sudut pandang yuridis yang dihubungkan dengan peraturan-peraturan yang berlaku serta melihat kenyataan yang terjadi di lapangan mengenai pemungutan pajak terhadap objek lelang eksekusi hak tanggungan serta bagaimana proses pelaksanaan pemungutan pajak tersebut sesuai yang diamanatkan dalam Perda Kota Semarang Nomor 2 Tahun 2011 tentang BPHTB, maka dilakukan penelitian lebih lanjut dengan judul “Pelaksanaan Pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Terhadap Lelang Eksekusi Hak Tanggungan menurut Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (Studi Kasus Bank Mandiri Cabang Semarang)”.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana Pelaksanaan Lelang pada KPKNL terhadap Lelang Eksekusi Hak Tanggungan di Bank Mandiri Cabang Semarang?
2. Bagaimana Pelaksanaan Pemungutan BPHTB terhadap Lelang Eksekusi Hak Tanggungan pada KPKNL Semarang menurut Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan?
C. Tujuan Penelitian
Bertitik tolak pada permasalahan yang telah diuraikan di atas, maka tujuan secara umum yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui mengenai pelaksanaan lelang pada KPKNL terhadap lelang eksekusi hak tanggungan pada bank Mandiri Cabang Semarang.
2. Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan pemungutan BPHTB terhadap lelang eksekusi hak tanggungan menurut Perda Kota Semarang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praktis.
1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat menambah wawasan dan kajian dalam terutama bagi perkembangan ilmu pengetahuan hukum dan memberikan sumbangan yang berarti bagi kajian kritis terhadap kajian pelaksanaan lelang pada KPKNL terhadap lelang eksekusi hak tanggungan pada bank Mandiri Cabang Semarang dan pemungutan BPHTB terhadap objek lelang dalam ruang lingkup hukum pajak.
2. Manfaat Praktis
a. KPKNL dapat menggunakan hasil penelitian sebagai bahan pertimbangan dalam pelaksanaan lelang pada KPKNL terhadap lelang eksekusi hak tanggungan pada bank Mandiri Cabang Semarang.
b. Pemerintah daerah dapat menggunakan hasil penelitian ini sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil kebijakan dalam pelaksanaan pemungutan BPHTB terhadap lelang eksekusi hak tanggungan menurut Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
c. Bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan kepada para pihak tentang pelaksanaan lelang eksekusi hak tanggungan pada Bank Mandiri agar yang dapat memberikan kepastian hukum bagi penawar lelang/pembeli khususnya mengenai pajak yang dikenakan yaitu BPHTB.
d. Bagi peneliti sendiri hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan tentang hukum pajak khususnya mengenai pajak BPHTB terhadap lelang eksekusi hak tanggungan.














E. Kerangka Pemikiran
1. Kerangka Konseptual

























2. Kerangka Teoritik
a. Pengertian Pajak
Menurut Rochmat Soemitro, pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan Undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbul (kontraprestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.
Menurut Bambang Waluyo, pajak adalah pemungutan yang bersifat wajib dan merupakan suatu keharusan peranan terhadap suatu tertentu yang diisyaratkan oleh hukum/Undang-undang yang dapat dipaksakan untuk melakukan kewajiban secara baik.

b. Pengertian Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
Pengertian Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan yang selanjutnya disebut pajak. Pajak dalam hal ini merupakan iuran rakyat kepada negara yang dapat dipaksakan tanpa balas jasa langsung yang bisa digunakan untuk pembiayaan pembangunan nasional.
BPHTB merupakan suatu perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah suatu perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau bangunan oleh orang pribadi atau badan.

c. Subjek dan Objek BPHTB
Menurut Mardiasmo, subjek pajak BPHTB adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh hak atas tanah dan/atau bangunan. Subjek pajak yang dikenakan kewajiban membayar pajak menjadi wajib pajak BPHTB menurut Undang-undang BPHTB.
Menurut Waluyo subjek pajak atas BPHTB adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh hak atas tanah dan/atau bangunan. Oleh karena itu, subjek pajak dibebani kewajiban membayar pajak menjadi wajib pajak menurut Undang-undang BPHTB.
Didalam hak atas tanah dan/atau bangunan terdapat beberapa objek yang dikenakan pemungutan BPHTB. Objek-objek tersebut antara lain:
1) Objek Tanah dan Bangunan yang berupa Hak Milik (hak turun temurun, terkuat, dan tepenuh yang dapat dimiliki orang pribadi atau badan-badan hukum tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah);
2) Objek Tanah dan Bangunan yang berupa Hak Guna Usaha/HGU yaitu hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dalam jangka waktu sebagaimana yang ditentukan oleh perundang-undangan yang berlaku;
3) Objek Tanah dan Bangunan yang berupa Hak Guna Bangunan/HGB, yaitu hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu yang ditetapkan oleh Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Pokok Agraria;
4) Objek Tanah dan Bangunan yang berupa Hak Pakai, yaitu hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pejabat yang berwenang atau dalam perjanjian dengan pemilik tanah, yang bukan perjanjian sewa menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
5) Objek Tanah dan Bangunan yang berupa Hak milik atas satuan rumah susun, yaitu hak milik atas satuan yang bersifat perorangan dan terpisah. Hak milik atas satuan rumah susun juga meliputi hak atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama yang semuanya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan satuan yang bersangkutan;
6) Objek Tanah dan Bangunan yang berupa Hak Pengelolaan, yaitu hak menguasai dari negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang hak, antara lain berupa perencanaan peruntukan dan penggunaan tanah, penggunaan tanah untuk keperluan pelaksanaan tugas, penyerahan bagian-bagian dari tanah tersebut kepada pihak ketiga dan/atau kerja sama dengan pihak ketiga.
Dimaksud dengan perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau bangunan oleh orang pribadi dan/atau badan.
Perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan meliputi:
1) Pemindahan hak karena:
a) Jual beli;
b) Tukar menukar;
c) Hibah;
d) Hibah wasiat (penetapan wasiat mengenai pemberian hak atas tanah dan/atau bangunan dari orang pribadi yang berupa penetapan yang khusus mengenai pemberian hak atas tanah kepada orang pribadi dan/atau badan hukum tertentu, yang berlaku setelah pemberi hibah wasiat meninggal dunia);
e) Warisan;
f) Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya yang berupa pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dari orang pribadi atau badan kepada perseroan terbatas atau badan hukum lainnya sebagai penyertaan modal pada perseroan terbatas atau badan hukum lainnya atau biasa disebut dengan inbreng);
g) Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan atau pemindahan sebagian hak bersama atas tanah dan/atau bangunan oleh orang pribadi atau badan kepada sesama pemegang hak bersama;
h) Penunjukan pembeli dengan lelang dengan penetapan pemenang lelang oleh pejabat lelang sebagaimana tercantum dengan risalah lelang;
i) Pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
j) Penggabungan usaha;
k) Peleburan usaha;
l) Pemekaran usaha;
m) Hadiah atau suatu perbuatan hukum yang berupa penyerahan hak atas tanah dan/atau bangunan yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan hukum kepada pemegang hadiah, dalam hal ini akta yang dibuat adalah akta hibah.
2) Perolehan hak baru karena:
a) Perolehan hak baru yang merupakan kelanjutan pelepasan hak yang berupa pemberian hak baru kepada orang pribadi atau badan hukum dari negara atas tanah yang berasal dari pelepasan hak;
b) Perolehan hak baru diluar pelepasan hak yang berupa pemberian hak baru atas tanah kepada orang pribadi atau badan hukum dari negara menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

d. Pengertian Perjanjian
Ketentuan mengenai perjanjian diatur dalam Buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang terdapat pada Pasal 1313, bahwa suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Perikatan yang lahir karena perjanjian yang mengikat yaitu menimbulkan kewajiban dan hak dari adanya perikatan tersebut dapat dipaksakan secara hukum.
Suatu perjanjian dapat mempunyai sifat mengikat kepada para pihak perjanjian dan harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yaitu:
1) Adanya kata sepakat;
2) Adanya kecakapan;
3) Hal Tertentu tentang objek dari perjanjian ini;
4) Suatu sebab yang halal/mempunyai tujuan yang baik.
Syarat sepakat yang mengikatkan dirinya dan kecakapan untuk membuat suatu perjanjian disebut syarat subjektif, karena menyangkut subjeknya atau para pihak yang mengadakan dan atau membuat suatu perjanjian, sedangkan suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal disebut syarat objektif, karena mengenai perjanjian itu sendiri atau objek dari perbuatan hukum yang dilakukan.
Suatu perjanjian tidak hanya mengikat masing-masing pihak, akan tetapi perjanjian tersebut dapat menjadi alat bukti yang dapat digunakan apabila suatu saat terjadi permasalahan. Selain itu dalam suatu perjanjian yang mengikat masing-masing pihak terdapat hak dan kewajiban, dan dalam melakukan perjanjian tersebut digunakan suatu jaminan yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari perjanjian tersebut.
Dalam perjanjian kredit dengan jaminan hak tanggungan harus dituangkan dalam suatu akta yang dibuat oleh pejabat yang berwenang. Dalam hal ini pejabat yang berwenang adalah Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).
Dalam praktek perbankan, pembebanan suatu jaminan terhadap perjanjian antara pihak antara debitur atau penerima kuasa debitur dengan kreditur sebagai penerima pembebanan hak tanggungan merupakan suatu keharusan yang tertuang dalam perjanjian pokok ada saat terjadinya kesepakatan yang terdapat pada perjanjian kredit yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang tertuang dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang berisi pemberian hak tanggungan kepada kreditur tertentu sebagai jaminan untuk pelunasan piutangnya.
Perjanjian kredit dengan jaminan hak tanggungan merupakan hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.
Berdasarkan Undang-undang Hak Tanggungan, Objek yang dapat dibebani hak tanggungan adalah:
1) Hak Milik;
2) Hak Guna Usaha;
3) Hak Guna Bangunan.
Fungsi yuridis pengikatan benda sebagai objek hak tanggungan dalam akta pembebanan hak tanggungan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam perjanjian kredit, sehingga unsur-unsur dalam perjanjian kredit pada bank, tidak terlepas dari para pihak, yaitu:
1) Pihak bank sebagai kreditur;
2) Pihak nasabah sebagai debitur;
3) Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) sebagai pembuat Akta Pembebanan Hak Tanggungan (APHT);
4) Kantor Pertanahan sebagai instansi pemerintah yang menerima pendaftaran hak tanggungan atas tanah.

e. Pengertian Hak Tanggungan
Berdasarkan Undang-undang Hak Tanggungan didefinisikan bahwa hak tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.
Hak tanggungan adalah hak jaminan atas tanah untuk pelunasan piutang tertentu, yang memberikan kedudukan diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain. Dalam arti, bahwa apabila debitur cidera janji (wanprestasi) maka kreditur pemegang hak tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum dan kreditur tersebut mempunyai hak untuk mendahului kreditur-kreditur yang lain.


f. Pengertian Lelang
Dalam pelaksanaan lelang yang dimaksud dalam Vendu Reglement itu adalah suatu penjualan barang di muka umum dengan cara penawaran secara lisan dan naik-naik untuk memperoleh harga yang semakin meningkat atau dengan penawaran harga yang semakin menurun dan/atau dengan penawaran harga secara tertutup dan tertulis yang didahului dengan usaha mengumpulkan para calon peminat/pembeli lelang yang dipimpin oleh pejabat lelang.
Lelang adalah penjualan barang yang terbuka untuk umum baik secara langsung maupun melalui media elektronik dengan cara penawaran harga secara lisan dan/atau tertulis yang didahului dengan usaha mengumpulkan peminat.

F. Metode Penelitian
Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan maupun teknologi. Hal ini disebabkan karena penelitian bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten. Melalui proses penelitian terebut diadakan analisis dan kontruksi terhadap data yang dikumpulkan dan diolah. Metodologi adalah suatu hal yang sangat penting bagi penelitian dan dapat dikatakan bahwa metodologi merupakan unsur mutlak yang harus ada dalam kegiatan penelitian, untuk itu dalam suatu penelitian, peneliti perlu menggunakan metode yang tepat karena ada tidaknya suatu karya ilmiah tergantung pada metode yang digunakan.
Oleh karena itu dalam penulisan tesis ini, menggunakan metode penulisan sebagai berikut:
1. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan hukum yuridis empiris, yaitu suatu pendekatan yang meneliti data sekunder terlebih dahulu yang didukung oleh data primer dan data sekunder. Penelitian hukum mengenai pemberlakuan hukum normatif secara in action pada setiap peristiwa hukum yang terjadi dalam masyarakat, yaitu dengan meneliti secara langsung bagaimana suatu aturan hukum dapat berlaku secara efektif dalam kehidupan masyarakat yang kompleks dan apa akibatnya jika masyarakat tidak taat pada hukum yang berlaku serta bagaimana upaya hukum yang ditempuh dalam penyelesaian permasalahan yang terjadi baik dalam hubungan horizontal maupun vertikal. Lebih lanjut dari segi tujuan diadakan penelitian, penelitian tersebut juga dimaksudkan untuk melakukan penelitian mengenai problem indentification dan problem solution.
2. Spesifikasi Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yaitu suatu penelitian yang mendeskripsikan atau menggambarkan keadaan dari objek yang diteliti, sedangkan secara empiris yaitu memberikan kerangka pembuktian atau kerangka pengujian untuk membuktikan atau kerangka pengujian untuk memastikan dan membuktikan serta menganalisa data yang diperoleh secara sistematis, faktual dan akurat tentang pelaksanaan pemungutan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan terhadap lelang eksekusi hak tanggungan terhadap eksekusi kredit pada sektor perbankan.

3. Populasi dan Sampel
a. Populasi dalam penelitian ini adalah:
1) Perlindungan hukum bagi pembeli/pemenang lelang dalam lelang eksekusi hak tanggungan dalam hal pembayaran pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan terhadap objek lelang eksekusi hak tanggungan.
2) Kepastian hukum bagi pemerintah daerah Kota Semarang dalam pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.
3) Kepastian hukum bagi Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) dalam menentukan jumlah pajak bea perolehan hak atas tanah dan bangunan yang harus dibayar oleh pembeli/pemenang lelang.
b. Sampel dalam penelitian ini adalah:
1) Informan terlibat penuh dalam hal pelaksanaan undang-undang tentang pemungutan pajak BPHTB di wilayah Kota semarang.
2) Informan memiliki waktu yang cukup untuk dimintai keterangan.
3) Berdasarkan pertimbangan syarat tersebut, maka informan penelitian ini adalah pihak-pihak yang dapat dijadikan sebagai subjek kajian atau key informan, yakni Bank Mandiri, Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL), pihak yang terlibat (subjek BPHTB) dan Pemerintah Kota Semarang (Ka Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah). Penentuan informan tersebut dilakukan secara purposive sampling.
4. Sumber dan Jenis Data
Dalam penulisan ini akan digunakan data primer dan data sekunder, yaitu sebagai berikut:
a. Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari hasil pengamatan, berupa hasil dari wawancara atau interview baik secara langsung maupun secara tidak langsung terhadap informan Dan menghimpun data dengan melakukan penelaahan bahan kepustakaan atau data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. Dalam penelitian ini merupakan sumber informasi yang utama. Untuk menentukan informan dalam penelitian ini, harus memenuhi beberapa persyaratan, antara lain:
Bahan-bahan hukum yang mengikat, yakni:
1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dan amandemennya;
2) Kitab Undang-undang Hukum Perdata;
3) Undang-undang nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Pokok Agraria;
4) Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah diubah menjadi Undang-undang Nomor 16 Tahun 2009 (Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
5) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah;
6) Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan;
7) Undang-undang Nomor 33 tahun 2004 tentang pertimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah;
8) Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD);
9) Peraturan Pelaksanaan Lelang (Vendu Reglement, Ordonantie 28 Februari 1908 sebagaimana telah berubah beberapa kali diubah terakhir dengan Staatsblad 1941:3);
10) Instruksi Lelang (Vendu Instructie, Staatsblad 1908:190 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Staatsblad 1930:85);
11) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 114 tahun 2000 tentang pencabutan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 1997, tentang Pembagian Hasil Penerimaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah;
12) Peraturan Bersama Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri Nomor 186/PMK.07/2010 dan Nomor 53 Tahun 2010 Tentang Tahapan Persiapan Pengalihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagai pajak daerah.
13) Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 519/KMK.04/2000 tentang Pembagian Hasil Penerimaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah daerah;
14) Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.
15) Peraturan Walikota Semarang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu data yang diperoleh melalui studi kepustakaan dan dokumentasi, antara lain: buku-buku, makalah, artikel dari media massa maupun media elektroni serta bahan-bahan hukum lainnya yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini.
c. Bahan tertier adalah bahan pendukung di luar bidang hukum yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang meliputi kamus ensiklopedia, kamus bahasa Indonesia atau jurnal-jurnal hukum yang berkaitan dengan permasalahan pelaksanaan pemungutan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan terhadap objek lelang menurut peraturan daerah Kota Semarang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (Studi Kasus PT. Bank Mandiri Persero Tbk).
5. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara:
a. Studi Dokumen yaitu menghimpun data dengan melakukan penelaahan bahan kepustakaan atau data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier, berupa dokumen-dokumen maupun peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang terkait dengan pelaksanaan lelang pada Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) dan pelaksanaan pemungutan Bea Perolehan Hak Atas dan Bangunan terhadap objek lelang pada Pemerintah Kota Semarang.
b. Wawancara terstruktur yaitu menghimpun data dengan melakukan wawancara yang menggunakan pedoman wawancara (interview guide) untuk mendapatkan data primer dari sumber yang telah ditentukan, yaitu:
1) Administrasi Kredit/Legal Bank Mandiri Cabang Semarang di Kota Semarang.
2) Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL).
3) Para pihak yang terlibat (subjek BPHTB).
4) Pemerintah Kota Semarang.
c. Wawancara tidak terstruktur, dalam melakukan wawancara tidak ditetapkan dalam daftar pertanyaan. Materi wawancara diharapkan berkembang sesuai dengan jawaban informan dan situasi saat wawancara berlangsung. Wawancara ini dimaksudkan untuk menemukan sebanyak mungkin informasi yang diperlukan.

6. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian tesis ini adalah analisis data kualitatif yang berupa uraian-uraian data yang dihimpun dalam kalimat terstruktur dan kemudian dihubungkan secara sistematika untuk menarik kesimpulan guna menjawab permasalahan dalam tesis.
Semua data yang diperoleh disusun secara sistematis, diolah dan diteliti serta dievaluasi. Kemudian data dikelompokkan atas data yang sejenis, untuk kepentingan analisis, sedangkan evaluasi dan penafsiran dilakukan secara kualitatif yang dicatat satu persatu untuk dinilai kemungkinan persamaan jawaban, oleh karena itu data yang telah dikumpulkan kemudian diolah, dianalisis secara kualitatif dan diterjemahkan secara logis sistematis untuk selanjutnya ditarik kesimpulan dengan menggunakan metode pendekatan deduktif. Kesimpulan adalah merupakan jawaban khusus atas permasalahan yang diteliti, sehingga diharapkan akan memberikan solusi atas permasalahan dalam penelitian.

BAB II
TINJAUAN UMUM

A. Tinjauan Umum Tentang Pajak
1. Pengertian Pajak dan Hukum Pajak
a. Pengertian Pajak
Pajak adalah iuran rakyat kepada negara yang dapat dipaksakan tanpa balas jasa langsung yang bisa digunakan untuk pembiayaan pembangunan nasional.
Menurut M.J.H. Smeets, pajak adalah prestasi pemerintah yang terutang melalui norma-norma umum, dan yang dapat dipaksakan tanpa adanya kontra prestasi, yang dapat ditunjukkan dalam hal yang individual, maksudnya adalah membiayai pengeluaran pemerintah.
Menurut Rochmat Soemitro, pajak adalah perikatan yang timbul karena undang-undang yang mewajibkan seseorang yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh Undang-undang (taatbestand) untuk membayar sejumlah uang kepada (kas) negara yang dapat dipaksakan tanpa mendapatkan suatu imbalan yang secara langsung dapat ditunjuk, yang digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara (rutin dan pembangunan) dan digunakan sebagai alat (pendorong, penghambat) untuk mencapai tujuan di luar bidang keuangan.
Menurut Rachmat Soemahamidjaja yang dikutip oleh Wirawan B. Ilyas dan Richard Burton, pajak adalah iuran wajib, berupa uang atau barang, yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum.
Menurut Casavera, Pajak adalah konstribusi wajib kepada negara yang terutang oleh pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
b. Pengertian Hukum Pajak
Menurut R. Santoso Brotodihardjo, bahwa hukum pajak disebut juga sebagai hukum fiskal, yaitu keseluruhan dari peraturan yang meliputi wewenang pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkan kembali kepada masyarakat melalui kas negara sehingga merupakan bagian dari hukum publik yang mengatur hubungan-hubungan hukum antara negara dengan orang-orang atau badan-badan (hukum) yang berkewajiban membayar pajak.
Menurut Rachmat Soemitro, bahwa hukum pajak adalah suatu kumpulan peraturan yang mengatur antara pemerintah sebagai pemungut pajak dan rakyat sebagai pembayar pajak. Dengan kata lain, hukum pajak menerangkan mengenai siapa saja wajib pajak (subjek) dan apa kewajiban-kewajiban mereka terhadap pemerintah, termasuk hak-hak pemerintah, terhadap objek apa saja yang dikenakan pajak, cara penagihan, cara pengajuan keberatan-keberatan, dan sebagainya.
Pengertian Hukum Pajak adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang meliputi wewenang pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkannya kembali kepada masyarakat melalui kas negara, sehingga hukum pajak tesebut merupakan hukum publik yang mengatur hubungan negara dan orang-orang atau badan-badan hukum yang berkewajiban membayar pajak.


2. Fungsi Pajak
Terdapat banyak manfaat yang dapat diperoleh dari pajak yang dipungut dari masyarakat. Perlunya pemungutan pajak pada suatu negara sangat erat kaitannya dengan fungsi pajak sebagai salah satu sumber penerimaan negara. Fungsi pajak berkaitan dengan manfaat yang diperoleh dari pemungutan pajak, setidaknya terdapat 2 (dua) fungsi pajak, yaitu:
a. Fungsi Budgetair/Penerimaan;
Fungsi budgetair/penerimaan yang disebut juga sebagai fungsi utama pajak atau fungsi fiskal (fiscal fundation) adalah suatu fungsi dimana pajak digunakan sebagai alat untuk memasukkan dana secara optimal ke kas negara berdasarkan Undang-undang perpajakan yang berlaku. Fungsi ini disebut juga disebut sebagai fungsi utama karena fungsi inilah yang secara historis pertama kali timbul.
b. Fungsi Regulerend/Mengatur.
Fungsi regulerend (regulasi) atau fungsi mengatur disebut juga fungsi tambahan, yaitu suatu fungsi dimana pajak digunakan oleh pemerintah sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu. Disebut juga fungsi tambahan karena fungsi ini hanya sebagai pelengkap dari fungsi utama pajak, yaitu fungsi budgetair.
Bila dilihat dari perannya yang sangat penting, maka secara umum fungsi pajak dapat dibedakan menjadi:
a. Fungsi anggaran (budgetair);
Fungsi anggaran merupakan fungsi pembiayaan untuk pembangunan dan penyelenggaraan negara. Biasanya, penerimaan pajak sebagai pelaksanaan fungsi anggaran tercermin dalam APBN.
b. Fungsi mengatur (regulerend)
Pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijaksanaan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi.
3. Pemungutan Pajak.
Pada dasarnya pajak merupakan peralihan kekayaan dari masyarakat kepada negara tanpa adanya kontra prestasi (imbalan) yang langsung diperoleh oleh pembayar pajak. Hal ini tentu tidak menyenangkan dan tidak ada yang rela untuk membayar pajak. Suatu peraturan agar dapat diterapkan pungutan pajak kepada masyarakat, pungutan pajak tersebut harus berdasarkan pada Undang-undang, pajak dapat dikatakan merupakan hasil kesepakatan anggota masyarakat oleh dewan perwakilan rakyat dan ditetapkan melalui pembentukan peraturan berupa Undang-undang serta dianggap masyarakat telah menyetujui untuk membayarnya. Oleh karena itu dalam pemungutan pajak atas kekayaan atau penghasilan oleh fiskus atau negara kepada orang atau wajib pajak diatur dalam bentuk sebuah hukum yang berupa Undang-undang dan peraturan pelaksananya.
Dengan berdasarkan pada pemungutannya, pajak dapat digolongkan menjadi 2 (dua), yakni pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat (pajak pusat) dan pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah (pajak daerah).
a. Pajak Pusat, yakni pajak yang kewenangan pemungutannya berada pada pemerintah pusat. Tergolong jenis pajak ini antara lain Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai atas Barang dan Jasa (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), Bea Materai dan Cukai.
b. Pajak Daerah, yakni pajak yang kewenangan pemungutannya berada pada pemerintah daerah, baik pada pemerintahan propinsi maupun pemerintah Kabupaten/Kota.
Pemungutan pajak yang dianut di Indonesia saat ini didasarkan pada self assessment system (sistem penetapan sendiri). Istilah self assessment system adalah istilah hukum, sedangkan istilah administrasinya adalah selp taxing system. self assessment system/self taxing system adalah suatu sistem yang menentukan bahwa rakyat yang telah memenuhi syarat sebagai wajib pajak yang secara otomatis harus menghitung dan menetapkan sendiri berapa besarnya utang pajaknya, menyetorkannya ke Kas Negara, dan mempertanggung jawabkan penghitungan, penetapan, dan pembayaran pajak tersebut kepada otoritas perpajakan yang disebut dengan istilah fiskus.
4. Jenis Pajak.
Jenis-jenis pajak yang terdapat di Indonesia, baik pajak yang sudah tidak berlaku lagi, maupun yang sedang berlaku saat ini, antara lain:
a. Pajak Pusat (wewenang pemungutan pajak yang berada ditangan pemerintah pusat);
1) Pajak Penghasilan (PPh), berdasarkan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 jo Undang-undang Nomor 16 Tahun 2009;
2) Pajak Pertambahan Nilai (PPn), berdasarkan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 (UU PPn/PPnBM);
3) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), berdasarkan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994 (UU PBB);
4) Bea Materai, berdasarkan Undang-undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai (UU Bea Materai);
5) Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan berdasarkan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
6) Bea Masuk, berdasarkan Undang-undang nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeaan;
7) Cukai Tembakau dan Etil Alkohol beserta hasil olahannya, berdasarkan Undang-undang Nomor 39 tahun 2007 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 11 tahun 1995 tentang Cukai (Undang-undang Cukai).
b. Pajak Daerah (wewenang pemajakannya berada ditangan pemerintah Daerah).
1) Pajak Kendaraan Bermotor;
2) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor;
3) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor;
4) Pajak Air Permukaan;
5) Pajak Rokok;
6) Pajak Hotel;
7) Pajak Restoran;
8) Pajak Hiburan;
9) Pajak Reklame.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) terdapat beberapa pengalihan pelaksanaan pemungutan terhadap jenis pajak yang pada awalnya merupakan pemungutan pajak pusat menjadi jenis pajak daerah dan dilaksanakan sepenuhnya oleh pemerintah daerah serta dijadikan sebagai pendapatan asli daerah.
Pajak daerah (wewenang pemajakannya berada ditangan pemerintah daerah). Dasar hukum pelaksanaan pemungutan jenis pajak daerah adalah Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Berdasarkan Pasal 2 Undang-undang tersebut jenis pajak daerah terdiri dari:
a. Pajak Provinsi (wewenang pemajakannya berada ditangan pemerintah Provinsi).
1) Pajak Kendaraan Bermotor;
2) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor;
3) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor;
4) Pajak Air Permukaan; dan
5) Pajak Rokok.
b. Pajak Kabupaten/Kota (wewenang pemajakannya berada ditangan pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
1) Pajak Hotel;
2) Pajak Restoran;
3) Pajak Hiburan;
4) Pajak Reklame;
5) Pajak Penerangan Jalan;
6) Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan;
7) Pajak Parkir;
8) Pajak Air Tanah;
9) Pajak Sarang Burung Walet;
10) Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan;
11) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
Di tinjau dari segi Lembaga Pemungut Pajak dapat di bagi menjadi dua jenis yaitu:
a. Pajak Pusat atau sering disebut juga Pajak pusat yaitu pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat yang terdiri dari:
1) Pajak Penghasilan;
2) Pajak Penghasilan diatur berdasarkan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 jo Undang-undang Nomor 16 Tahun 2009.
3) Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah;
4) Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah di atur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang di ubah terakhir kali dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009.
5) Pajak Pertambahan Nilai (PPN);
6) Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas setiap pertambahan nilai dari barang atau jasa dalam peredarannya dari produsen ke konsumen. Dalam bahasa Inggris, PPN disebut Value Added Tax (VAT) atau Goods and Services Tax (GST). PPN termasuk jenis pajak tidak langsung, maksudnya pajak tersebut di setor oleh pihak lain (pedagang) yang bukan penanggung pajak atau dengan kata lain, penanggung pajak (konsumen akhir) tidak menyetorkan langsung pajak yang ia tanggung.
7) Bea Materai.
8) Bea Materai di atur dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai.
b. Pajak Daerah
Sesuai Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, berikut jenis-jenis Pajak Daerah:
a) Pajak Provinsi terdiri dari:
a) Pajak Kendaraan Bermotor;
b) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor;
c) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor;
d) Pajak Air Permukaan; dan
e) Pajak Rokok.
b) Jenis Pajak Kabupaten/Kota terdiri atas:
a) Pajak Hotel;
b) Pajak Restoran;
c) Pajak Hiburan;
d) Pajak Reklame;
e) Pajak Penerangan Jalan;
f) Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan;
g) Pajak Parkir;
h) Pajak Air Tanah;
i) Pajak Sarang Burung Walet;
j) Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan;
k) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

B. Tinjauan Umum tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
1. Pengertian BPHTB
Berdasarkan Pasal 33 ayat 3 UUD 1945, bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Tanah di samping mempunyai fungsi sosial, juga berfungsi memenuhi kebutuhan dasar untuk papan dan lahan usaha, serta menjadi alat yang menguntungkan. Di samping itu bangunan juga memberi manfaat ekonomi bagi pemiliknya. Oleh karena itu, bagi mereka yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan merupakan sesuatu yang dianggap wajar untuk menyerahkan sebagian nilai ekonomi yang diperolehnya kepada negara melalui pembayaran pajak, yang dalam hal ini adalah Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).
Yang dimaksud dengan perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau bangunan oleh orang pribadi atau badan.
Menurut Mariot Pahala Siahaan, BPHTB merupakan pajak yang dikenakan atas orang atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan, baik yang diperoleh karena pemindahan hak maupun karena perolehan hak baru oleh pemerintah.
Perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan meliputi:
1) Pemindahan hak karena:
1) Jual beli;
2) Tukar menukar;
3) Hibah;
4) Hibah wasiat (penetapan wasiat mengenai pemberian hak atas tanah dan/atau bangunan dari orang pribadi yang berupa penetapan yang khusus mengenai pemberian hak atas tanah kepada orang pribadi dan/atau badan hukum tertentu, yang berlaku setelah pemberi hibah wasiat meninggal dunia);
5) Warisan;
6) Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya yang berupa pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dari orang pribadi atau badan kepada perseroan terbatas atau badan hukum lainnya sebagai penyertaan modal pada perseroan terbatas atau badan hukum lainnya atau biasa disebut dengan inbreng);
7) Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan atau pemindahan sebagian hak bersama atas tanah dan/atau bangunan oleh orang pribadi atau badan kepada sesama pemegang hak bersama;
8) Penunjukan pembeli dengan lelang dengan penetapan pemenang lelang oleh pejabat lelang sebagaimana tercantum dengan risalah lelang;
9) Pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
10) Penggabungan usaha;
11) Peleburan usaha;
12) Pemekaran usaha;
13) Hadiah atau suatu perbuatan hukum yang berupa penyerahan hak atas tanah dan/atau bangunan yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan hukum kepada pemegang hadiah, dalam hal ini akta yang dibuat adalah akta hibah.
2) Perolehan hak baru karena:
1) Perolehan hak baru yang merupakan kelanjutan pelepasan hak yang berupa pemberian hak baru kepada orang pribadi atau badan hukum dari negara atas tanah yang berasal dari pelepasan hak;
2) Perolehan hak baru diluar pelepasan hak yang berupa pemberian hak baru atas tanah kepada orang pribadi atau badan hukum dari negara menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Prinsip-prinsip BPHTB.
Prinsip-prinsip yang dianut dalam Undang-undang Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB):
a. Pemenuhan Kewajiban Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) adalah berdasarkan prinsip self assessment, yaitu wajib pajak menghitung dan membayar sendiri utang pajaknya;
b. Besarnya tarif ditetapkan sebesar 5% (lima persen) dari Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP);
c. Agar dalam pelaksanaan Undang-undang ini dapat berlaku efektif, maka baik wajib pajak maupun pejabat-pejabat umum yang melanggar ketentuan atau tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana ditentukan oleh Undang-undang akan dikenakan sanksi menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku;
d. Hasil penerimaan Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) merupakan penerimaan Negara yang sebagian besar diserahkan kepada Pemerintah Daerah untuk meningkatkan pendapatan daerah, membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah, dan memantapkan otonomi daerah;
e. Semua pungutan atas Bea perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan (BPHTB) diluar ketentuan Undang-undang ini tidak diperkenankan.
3. Subjek dan Objek BPHTB
a. Subjek BPHTB;
Sebelum suatu perolehan hak atas tanah dan bangunan dikenai bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB), terlebih dahulu harus ditentukan siapa wajib pajak atau subjek pajak yang akan dikenakan Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB).
Dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi subjek pajak adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan/atau bangunan. Subjek pajak yang dikenai kewajiban membayar pajak menjadi wajib pajak.
b. Objek BPHTB.
Objek Pajak atau suatu transaksi/peristiwa yang dikenai Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) apabila transaksi atau peristiwa itu mengakibatkan salah satu pihak yang melakukan transaksi memperoleh hak atas tanah dan/atau bangunan.
Di maksud tanah dan/atau bangunan dapat berupa:
1) Tanah yang termasuk tanaman di atasnya;
Tanah dan yang termasuk tanaman yang terdapat di atasnya merupakan suatu keadaan dimana pada tanah tersebut hanya terdapat tanah beserta tanamannya saja, tidak terdapat bangunan baik dalam bentuk bangunan permanen maupun bangunan yang tidak permanen.
2) Bangunan.
Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan yang dapat berupa bangunan gedung, rumah, kolam renang, tempat olah raga, dan lain-lain.

3) Tanah dan bangunan;
Tanah dan bangunan yaitu suatu keadaan dimana di dalam suatu hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta bangunan di atasnya, yang sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang peraturan Pokok Agraria, Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun dan peraturan perundangan lainnya serta dalam bidang tanah tersebut terdapat konstruksi teknik yang tertanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan yang dapat berupa bangunan gedung, rumah, kolam renang, tempat olah raga, dan lain-lain.
Di dalam hak atas tanah dan/atau bangunan terdapat beberapa objek yang dikenakan pemungutan Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB). Objek-objek tersebut antara lain:
1) Objek Tanah dan Bangunan yang berupa Hak Milik (hak turun temurun, terkuat, dan tepenuh yang dapat dimiliki orang pribadi atau badan-badan hukum tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah);
2) Objek Tanah dan Bangunan yang berupa Hak Guna Usaha/HGU yaitu hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dalam jangka waktu sebagaimana yang ditentukan oleh perundang-undangan yang berlaku;
3) Objek Tanah dan Bangunan yang berupa Hak Guna Bangunan/HGB, yaitu hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu yang ditetapkan oleh Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Pokok Agraria;
4) Objek Tanah dan Bangunan yang berupa Hak Pakai, yaitu hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pejabat yang berwenang atau dalam perjanjian dengan pemilik tanah, yang bukan perjanjian sewa menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
5) Objek Tanah dan Bangunan yang berupa Hak milik atas satuan rumah susun, yaitu hak milik atas satuan yang bersifat perorangan dan terpisah. Hak milik atas satuan rumah susun juga meliputi hak atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama yang semuanya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan satuan yang bersangkutan;
6) Objek Tanah dan Bangunan yang berupa Hak Pengelolaan, yaitu hak menguasai dari negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya, antara lain berupa perencanaan peruntukan dan penggunaan tanah, penggunaan tanah untuk keperluan pelaksanaan tugas, penyerahan bagian-bagian dari tanah tersebut kepada pihak ketiga dan/atau kerja sama dengan pihak ketiga.
Terdapat beberapa hak yang tidak termasuk objek pajak, objek pajak yang tidak dikenakan Pajak Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) antara lain:
1) Perwakilan Diplomatik, konsulat berdasarkan atas perlakuan timbal balik;
2) Negara untuk penyelenggaraan pemerintahandan atau pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;
3) Badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan keputusan menteri dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan usaha atau perwakilan organisasi tersebut;
4) Orang pribadi atau badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;
5) Orang pribadi atau badan karena wakaf;
6) Orang pribadi atau badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah.
Berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang No. 28 Tahun 2009, objek BPHTB adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan meliputi :
1) Pemindahan hak karena :
a) Jual beli;
b) Tukar menukar;
c) Hibah;
d) Hibah wasiat;
e) Waris;
f) Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
g) Penunjukan pembeli dalam lelang;
h) Pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
i) Penggabungan Usaha;
j) Peleburan Usaha;
k) Pemekaran Usaha;
l) Hadiah;
2) Pemberian hak baru karena :
a) Kelanjutan pelepasan hak;
b) Di luar pelepasan hak.
4. Saat Terutangnya BPHTB dan Tempat Pembayaran.
Saat yang menentukan terutangnya pajak dan tempat pembayaran pajak antara lain:
a. Saat terjadi pemisahan hak:
Pemisahan hak dilakukan pada saat diibuat dan ditanda tanganinya akta, yang meliputi:
1) Jual beli;
2) Tukar menukar;
3) Hibah;
4) Pemasukan dalam perseroan atau badan lainnya;
5) Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
6) Penggabungan usaha;
7) Peleburan usaha;
8) Pemekaran usaha;
9) Hadiah;
b. Sejak tanggal penunjukan pemenang lelang;
c. Sejak tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
d. Sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya kekantor pertanahan, untuk hibah wasiat dan waris;
e. Sejak tanggal ditanda tangani dan diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk:
1) Pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak;
2) Pemberian hak baru di luar pelepasan hak.
5. Sistem Pemajakan BPHTB
Pemajakan Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) dilakukan dengan sistem pemajakan sendiri (self assessment system). Wajib pajak yang melakukan penghitungan besarnya Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) terutang dan menyetorkannya sendiri ke kas negara yang dapat melalui bank atau kantor pos pada saat timbulnya utang BPHTB dan melaporkan sendiri penghitungan dan penyetoran BPHTB terutang. Di samping itu, pelaporan mengenai penghitungan dan penyetoran BPHTB tersebut dilakukan juga oleh Notaris/PPAT atau kantor pertanahan kabupaten/kota atau pejabat lelang.

C. Tinjauan Umum tentang Lelang
1. Pengertian Lelang
Peraturan tentang lelang di Indonesia diawali dengan Vendu Reglement (Peraturan Lelang) Stb. 1908 Nomor 189 dan Vendu Instructie (Instruksi Lelang) Stb.1908 Nomor 190. Peraturan pelaksanaan untuk lelang dikeluarkan oleh Menteri Keuangan dan Kepala Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara yang kemudian menjadi dasar bagi diterbitkannya Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 337/KMK.01/2000 tentang Petunjuk Pelaksanaan yang di ubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Indonesia Nomor 40/PMK.07/2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang dan kemudian diubah dan terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Indonesia Nomor 93 /PMK.06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang.
Dalam pelaksanaan lelang yang dimaksud dalam Vendu Reglement itu adalah suatu penjualan barang di muka umum dengan cara penawaran secara lisan dan naik-naik untuk memperoleh harga yang semakin meningkat atau dengan penawaran harga yang semakin menurun dan/atau dengan penawaran harga secara tertutup dan tertulis yang didahului dengan usaha mengumpulkan para calon peminat/pembeli lelang yang dipimpin oleh pejabat lelang.
Penjualan di muka umum berdasarkan Vendu Reglement diartikan sebagai pelelangan dan penjualan barang yang diadakan di muka umum dengan penawaran harga yang makin meningkat, dengan perserujuan yang semakin menurun atau dengan pendaftaran harga, atau dimana orang-orang yang diundang atau sebelumnya telah diberitahu tentang pelelangan atau penjualan, atau kesempatan yang diberikan kepada orang-orang yang berlelang atau yang membeli untuk menawar harga, menyetujui harga atau mendaftarkan.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang mendefinisikan pengertian lelang adalah penjualan barang yang terbuka untuk umum dengan penawaran harga secara tertulis dan/atau lisan yang semakin meningkat atau menurun untuk mencapai harga tertinggi, yang didahului dengan Pengumuman Lelang.
Lelang adalah menghimpun para peminat untuk mengadakan persetujuan yang paling menguntungkan bagi penjual. Ada 3 (tiga) syarat untuk dilakukan penjualan umum, yaitu:
a) Penjualan harus selengkap mungkin;
b) Ada kehendak untuk mengikatkan diri;
c) Bahwa pihak lainnya (pembeli) yang akan mengadakan/melakukan perjanjian tidak dapat ditunjuk sebelumnya.
Untuk melaksanakan peraturan ini dan peraturan pelaksanaan yang ditetapkan lebih jauh berdasarkan peraturan ini yang dimaksud dengan “penjualan di muka umum” ialah pelelangan dan penjualan barang, yang diadakan di muka umum dengan penawaran harga yang semakin meningkat, dengan persetujuan harga yang makin menurun atau dengan pendaftaran harga, atau dimana orang-orang yang diundang atau sebelumnya sudah diberi tahu tentang pelelangan atau penjualan, atau kesempatan yang diberikan kepada orang-orang yang berlelang atau yang membeli untuk menawar harga atau mendaftarkan.
Menurut Tim Penyusun Rancangan Undang-undang Lelang Direktorat Jendral Piutang dan Lelang Negara Biro Hukum Sekretariat Jendral Departemen Keuangan mendefinisikan pengertian lelang sebagai suatu cara penjualan barang yang terbuka untuk umum dengan penawaran secara kompetisi yang didahului dengan pengumuman lelang dan/atau upaya mengumpulkan peminat.
2. Asas, Sifat dan Fungsi Lelang
Secara normatif sebenarnya tidak ada peraturan perundang-undangan yang mengatur asas lelang namun apabila kita cermati klausula-klausula dalam peraturan perundang-undangan di bidang lelang dapat ditemukan adanya Asas Lelang yaitu:
a. Asas Keterbukaan.
Menghendaki agar seluruh lapisan masyarakat mengetahui adaya rencana lelang dan mempunyai kesempatan yang sama untuk mengikuti lelang sepanjang tidak dilarang oleh Undang-undang. Oleh karena itu, setiap pelaksanaan lelang harus didahului dengan pengumuman lelang. Asas ini juga untuk mencegah terjadinya praktek persaingan usaha tidak sehat, dan tidak memberikan kesempatan adanya praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
b. Asas Keadilan.
Mengandung pengertian bahwa dalam proses pelaksanaan lelang harus dapat memenuhi rasa keadilan secara proporsional bagi setiap pihak yang berkepentingan. Asas ini untuk mencegah terjadinya keberpihakan Pejabat Lelang kepada peserta lelang tertentu atau berpihak hanya pada kepentingan penjual. Khusus pada pelaksanaan lelang eksekusi, penjual tidak boleh menentukan harga limit secara sewenang-wenang yang berakibat merugikan pihak tereksekusi.


c. Asas Kepastian Hukum.
Menghendaki agar lelang yang telah dilaksanakan menjamin adanya perlindungan hukum bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam pelaksanaan lelang. Setiap pelaksanaan lelang dibuat Risalah Lelang oleh Pejabat Lelang yang merupakan akte otentik. Risalah Lelang digunakan penjual/pemilik barang, pembeli dan Pejabat Lelang untuk mempertahankan dan melaksanakan hak dan kewajibannya.l
d. Asas Efisiensi.
Akan menjamin pelaksanaan lelang dilakukan dengan cepat dan dengan biaya yang relatif murah karena lelang dilakukan pada tempat dan waktu yang telah ditentukan dan Pembeli disahkan pada saat itu juga.
e. Asas Akuntabilitas.
Menghendaki agar lelang yang dilaksanakan oleh Pejabat Lelang dapat dipertanggungjawabkan kepada semua pihak yang berkepentingan. Pertanggungjawaban Pejabat Lelang meliputi administrasi lelang dan pengelolaan uang lelang.
Ditinjau dari sifatnya, sifat lelang terbagi dalam beberapa hal, antara lain:
a. Lelang yang sifatnya wajib;
Lelang yang dilaksanakan atas permintaan pihak yang menguasai/memiliki suatu barang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan harus dijual secara lelang.
Contohnya: Barang-barang inventaris milik Instansi Pemerintah, apabila sudah dihapuskan, maka berdasarkan Pasal 48 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara jo. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah barang-barang tersebut harus dijual secara lelang melalui Kantor Lelang, termasuk lelang atas putusan/penetapan lembaga peradilan yang dalam amar putusannya mewajibkan adanya penjualan secara lelang, dan sebagainya.dul : Pengetahuan Lelang(Penghpusan
b. Lelang yang sifatnya sukarela.
Lelang yang dilaksanakan atas permintaan masyarakat/pengusaha yang secara sukarela menginginkan barangnya di lelang.
Lelang dapat bersifat wajib apabila lelang tersebut merupakan lelang atas permintaan pihak yang menguasai/memiliki suatu barang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan. Lelang dapat dikatakan lelang sukarela apabila lelang yang dilaksanakan atas permintaan masyarakat/pengusaha yang secara sukarela menginginkan barangnya di lelang.
Berdasarkan fungsinya, ruang lingkup fungsi lelang dibedakan menjadi 2 (dua) hal yang memiliki fungsi utama, fungsi tersebut yaitu:
a. Fungsi Privat;
Lelang mempunyai fungsi privat sebagai suatu institusi pasar tersendiri, yang dapat memperlancar arus perdagangan barang. Lelang ini dilakukan atau digunakan masyarakat yang secara sukarela memilih dan/atau menjual barang miliknya secara lelang guna memperoleh hasil yang maksimal.
Fungsi privat terletak pada hakekat lelang ditinjau dari sisi perdagangan. Lelang dalam dunia perdagangan pada dasarnya merupakan alat untuk mengadakan perjanjian jual beli yang menguntungkan para pihak yang terkait.
b. Fungsi Publik.
Lelang sebagai suatu sarana yang dapat digunakan oleh aparatur negara untuk menjalankan tugas umum pemerintahan di bidang penegakan hukum dan pelaksanaan Undang-undang. Lelang ini mempunyai fungsi untuk mengamankan aset-aset negara dan sekaligus meningkatkan efisiensi dari pengolahan kekayaan negara serta dalam rangka meningkatkan penerimaan negara.
Fungsi publik dari lelang tercermin dalam tiga hal, yaitu :
1) Mengamankan asset yang dimiliki atau dikuasai oleh Negara untuk meningkatkan efisiensi dan tertib administrasi dari pengelolaan asset tersebut;
2) Pelayanan penjualan barang dalam rangka mewujudkan law enforcement yang mencerminkan keadilan, keamanan dan kepastian hokum;
3) Mengumpulkan penerimaan Negara dalam bentuk bea lelang.
Sisi positif yang terkandung dalam pelaksanaan penjualan barang secara lelang antara lain adalah adil karena bersifat terbuka/transparan dan objektif, aman karena disaksikan oleh pimpinan dan dilaksanakan oleh Pejabat Umum yang di angkat oleh Pemerintah dan yang bersifat independent, cepat dan efisien karena lelang didahului dengan pengumuman lelang sehingga peserta dapat berkumpul pada saat hari lelang dan pembayaran tunai, harga wajar karena menggunakan system penawaran yang bersifat kompetitif dan transparan, serta menjamin adanya kepastian hukum karena dilaksanakan oleh Pejabat Lelang dan dibuat Risalah Lelang sebagai akta otentik untuk proses balik nama ke atas nama kepada pemenang lelang.
Salah satu fungsi lelang atau penjualan di muka umum yang tercermin dalam fungsi publik adalah adanya kepastian hukum, dimana seseorang atau pihak yang dinyatakan sebagai pemenang lelang akan memperoleh suatu kepastian dari pejabat lelang bahwa yang bersangkutan dijamin hak-haknya dalam kepemilikan benda yang dijadikan objek pada pelelangan setelah yang bersangkutan dinyatakan sebagai pemenang, namun dalam praktek di lapangan tidak selalu pelaksanaan lelang berjalan secara adil, aman, cepat, efisien dan adanya kepastian hukum sesuai dengan harapan yang diinginkan. Terbukti dari kasus yang terjadi di lapangan dimana si pemenang lelang tidak dapat memperoleh apa yang diharapkan dari pembelian tanah dan bangunan secara lelang yang adil, aman, cepat efisien dan mendapatkan kepastian hukum.
Lelang mempunyai 2 (dua) fungsi yaitu fungsi privat yang tercermin pada saat digunakan oleh masyarakat yang secara sukarela memilih menjual barang miliknya secara lelang untuk memperoleh harga yang optimal, dan fungsi publik yang tercermin pada saat digunakan oleh aparatur negara untuk menjalankan tugas umum pemerintahan di bidang penegakan hukum dan pelaksanaan Undang-undang sesuai ketentuan yang diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Selain itu lelang juga digunakan oleh aparatur negara dalam rangka pengelolaan BMN/D dan/atau Kekayaan Negara yang dipisahkan sesuai ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 1970 tentang Penjualan dan atau Pemindahtanganan Barang-Barang Yang Dimiliki/Dikuasai Negara. Lelang juga digunakan dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah, dimana aparatur yang ditunjuk sebagai Pejabat Pengadaan/Panitia Pengadaan merupakan personil yang bertugas untuk melaksanakan pengadaan barang dan jasa khususnya pengadaan melalui penyedia barang/jasa yang harus memiliki sertifikat keahlian pengadaan barang dan jasa.
3. Jenis dan Bentuk Penawaran Lelang
Jenis lelang dapat ditinjau dari dua sudut, yaitu dari sudut sebab barang itu dijual dan dari sudut Penjual dalam hubungannya dengan barang yang akan dilelang. Dari sudut sebab barang itu dijual, dibedakan menjadi lelang ekasekusi dan lelang Noneksekusi.
Jenis lelang yang dilakukan oleh Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang dapat ditinjau dari sudut sebab barang itu dijual, hal ini dilakukan terhadap 2 (dua) hal, yaitu:
a. Lelang Eksekusi
Lelang eksekusi adalah penjualan barang yang bersifat paksa atau eksekusi suatu putusan Pengadilan Negeri yang menyangkut bidang pidana atau perdata maupun putusan Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) dalam kaitannya dengan pengurusan Piutang Negara, serta putusan dari Kantor Pelayanan Pajak dalam masalah perpajakan.
Dalam hal ini Penjualan lelang biasanya dilakukan atas barang-barang milik tergugat atau Debitur/Penanggung Utang atau Wajib Pajak yang sebelumnya telah disita eksekusi. Selain itu, dapat juga karena perintah peraturan perundangundangan seperti Pasal 45 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Pasal 6 UndangUndang Hak Tanggungan, Pasal 29 Undang-undang Jaminan Fidusia dan Pasal 59 Undang-undang Kepailitan. Singkatnya, lelang eksekusi adalah lelang yang dilakukan dalam rangka melaksanakan putusan/penetapan Pengadilan atau yang dipersamakan dengan putusan/penetapan Pengadilan atau atas perintah peraturan perundang-undangan.

b. Lelang Non Eksekusi
Lelang noneksekusi adalah lelang barang milik/dikuasai negara yang tidak diwajibkan dijual secara lelang apabila dipindahtangankan atau lelang sukarela atas barang milik swasta. Lelang ini dilaksanakan bukan dalam rangka eksekusi/tidak bersifat paksa atas harta benda seseorang.
Dari sudut Penjual dalam hubungannya dengan barang yang akan dilelang terdapat beberapa penggolongan lelang yang dilakukan, penggolongan tersebut dapat dapat dilihat dari cara:
a. Penggolongan lelang dari cara penawarannya;
Penggolongan lelang dari cara ini merupakan penggolongan lelang berdasarkan cara penawaran yang dilakukan oleh pejabat lelang. Cara penawaran ini dapat dilakukan dengan cara lisan dan tertulis. Penggolongan penawaran secara lisan ini cukup dengan mengucapkan atau menyatakan dengan tutur kata didepan peserta lelang. Pelelangan dengan cara tertulis merupakan penawaran yang dilakukan dengan bentuk tertulis. Penjual atau pejabat lelang telah menyiapkan harga barang yang akan dilelang kepada peserta lelang, peserta lelang tinggal menawarkan sesuai dengan harga yang diinginkannya.
b. Penggolongan lelang dari aspek objek;
Lelang dari jenis ini merupakan pelelangan berdasarkan pada objek atau barang/benda yang akan dilelang oleh juru lelang. Penggolongan lelang ini dapat dibagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu benda bergerak dan benda tidak bergerak. Benda bergerak merupakan benda yang berpindah atau dipindah tangankan, sedangkan benda tidak bergerak (onroerene goederen) merupakan benda yang tidak berpindah atau dipindahkan.
4. Pejabat Lelang.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93 /PMK.06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang, Pejabat Lelang (vendumeester, auctioneer) adalah orang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan diberi wewenang khusus untuk melaksanakan penjualan barang secara lelang. Klasifikasi Pejabat Lelang menurut Pasal 7 Vendu Instructie (VI) adalah:
a. Pejabat Lelang Kelas I yaitu Pejabat Pemerintah yang diangkat khusus sebagai Pejabat Lelang dan Penerima Uang Kas Negara yang ditugaskan sebagai Pejabat Lelang.
b. Pejabat Lelang Kelas II yaitu Pejabat Negara selain Pejabat Lelang yang diberi tugas tambahan sebagai Pejabat Lelang, Orang-orang yang khusus diangkat sebagai Pejabat Lelang.
Dalam proses lelang, dalam hal ini dilaksanakan oleh pejabat lelang yang ditentukan oleh Peraturan Menteri Keuangan yaitu pejabat lelang kelas I dan pejabat lelang kelas II. Dalam pelaksanaan lelang yang dilaksanakan oleh pejabat lelang kelas I dilaksanakan oleh pegawai Departemen Keuangan yang berada di Ibukota Provinsi dan Ibukota Negara yang disediakan oleh negara berdasarkan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 174/PMK.06 Tahun 2010 dan pejabat lelang kelas II dilaksanakan oleh swasta dalam hal ini dapat dilakukan oleh Notaris dan/atau Sarjana Ekonomi yang telah mengikuti pelatihan oleh Menteri Keuangan dan telah dinyatakan lulus untuk menjadi pejabat lelang yang dalam hal ini pejabat lelang kelas II berkedudukan di kabupaten atau kota dan tidak disediakan oleh negara serta dalam melakukan usahanya pejabat lelang kelas II tidak dibiayai oleh negara. Dalam pelaksanaannya pejabat lelang kelas II dilakukan secara mandiri oleh masing-masing, hal ini berdasarkan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 175/PMK.07 Tahun 2010 tentang Pejabat Lelang Kelas II.
5. Klasifikasi Lelang
Klasifikasi lelang dari aspek ini dibagi menjadi 2 (dua) macam, antara lain:
a. Lelang Eksekusi;
Lelang eksekusi pada dasarnya dilakukan untuk melaksanakan putusan atau penetapan pengadilan, dokumen-dokumen lain yang dipersamakan dengan itu dan/atau melaksanakan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan Pelelangan eksekusi adalah pelaksanaan lelang berdasarkan putusan hakim atau yang disamakan dengan itu.
Pelaksanaan lelang eksekusi ini dilaksanakan dalam rangka membantu penegakan hukum. Untuk melaksanakan jenis lelang eksekusi, Panitia Urusan Piutang Negara, lelang eksekusi pengadilan, lelang eksekusi pajak, lelang eksekusi harta pailit, lelang eksekusi berdasarkan pasal 6 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-benda yang berkaitan dengan Tanah, lelang eksekusi benda sitaan yang terdapat dalam pasal 45 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, lelang eksekusi barang rampasan, lelang eksekusi barang jaminan fidusia, lelang eksekusi barang yang dinyatakan dikuasai atau tidak dikuasai negara Bea Cukai, lelang eksekusi barang temuan, lelang eksekusi gadai, lelang eksekusi benda sitaan dari tindak pidana korupsi.
b. Lelang Non Eksekusi.
Lelang non eksekusi ini merupakan pelaksanaan lelang diluar pelaksanaan putusan atau penetapan pengadilan atau dokumen-dokumen lain yang dipersamakan dengan itu sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Lelang non eksekusi ini meliputi lelang non eksekusi wajib dan lelang sukarela.
Pelelangan non eksekusi merupakan pelelangan yang dilaksanakan tanpa adanya putusan hakim. Pelelangan eksekusi adalah pelaksanaan lelang berdasarkan putusan hakim atau yang disamakan dengan itu.
D. Tinjauan Umum tentang Jaminan`
1. Pengertian Jaminan
Dalam rangka pembangunan ekonomi Indonesia, bidang hukum yang meminta perhatian secara serius dalam pembinaan hukumnya diantaranya ialah lembaga jaminan. Pembinaan hukum dalam hukum jaminan merupakan sebuah konsekuensi logis dan merupakan perwujudan tanggung jawab pembinaan hukum yang mengimbangi lajunya kegiatan-kegiatan dalam bidang perdagangan, perindustrian, perseroan, pengangkutan dan kegiatan dalam proyek pembangunan.
Mariam Darus Badrulzaman memberikan pengertian jaminan sebagai suatu lembaga hukum berupa hak untuk mengambil pelunasan bagi perikatan.
Rachmadi Usman, bahwa jaminan merupakan terjemahan dari zakerheid atau cautie, yaitu kemampuan debitur untuk memenuhi atau melunasi perutangannya kepada kreditur, yang dilakukan dengan cara menahan benda tertentu yang bernilai ekonomis sebagai tanggungan atas pinjaman atau utang yang diterima debitur terhadap krediturnya.
Sebelum Undang-undang 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah terbentuk maka yang berlaku ialah ketentuan-ketentuan mengenai hypotheek tersebut dalam KUH Perdata Indonesia dan Crediet Verband tersebut dalam S.1908-542 sebagaimana telah diubah dalam S.1937-190.
Setelah Undang-undang 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah berlaku maka hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lainnya.
W.J.S. Poerwodarminto dalam kamus besar Bahasa Indonesia mendefinisikan bahwa pengertian jaminan merupakan tanggungan, cagaran, garansi.
Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan Tanah didefinisikan bahwa hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untukpelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.
2. Macam-macam Jaminan
Di dalam hukum positif Indonesia dibagi menjadi 2 (dua) macam lembaga jaminan. Lembaga jaminan tersebut antara lain:
a. Jaminan Perorangan (Borgtocht atau perjanjian tanggungan).
Jaminan Perorangan atau Borgtocht yaitu bahwa jaminan yang diberikan kepada kreditur bukanlah suatu hak kebendaan, akan tetapi perorangan yaitu seorang pihak ketiga yang tidak mempunyai kepentingan apa-apa baik terhadap kreditur maupun terhadap debitur. Jaminan yang diberikan ini berupa pernyataan bahwa debitur dapat dipercaya akan melaksanakan kewajibannya seperti yang diperjanjikan. dengan syarat bila debitur tidak mungkin melaksanakannya maka pihak ketiga tersebut dengan mengikatkan diri untuk melaksanakan kewajiban perjanjian atas apa yang diperjanjikan debitur.
b. Jaminan Kebendaan.
Jaminan kebendaan yang terdiri dari benda bergerak dan tidak bergerak. Menurut sistem hukum perdata, benda bergerak dan tidak bergerak itu mempunyai arti penting dalam berbagai bidang yang berhubungan dengan penyerahan daluarsa (verjaring) kedudukan berkuasa (bezit) terhadap pembebanan atas jaminan.
3. Pengertian Hak Tanggungan
Hak tanggungan adalah hak jaminan atas tanah untuk pelunasan piutang tertentu, yang memberikan kedudukan diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain. Dalam arti, bahwa apabila debitur cidera janji (wanprestasi) maka kreditur pemegang hak tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum dan kreditur tersebut mempunyai hak untuk mendahului kreditur-kreditur yang lain.
Hak tanggungan adalah hak jaminan atas tanah untuk pelunasan piutang tertentu, yang memberikan kedudukan diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain. Dalam arti, bahwa apabila debitur cidera janji (wanprestasi) maka kreditur pemegang hak tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum dan kreditur tersebut mempunyai hak untuk mendahului kreditur-kreditur yang lain.
4. Jaminan Hak Tanggungan atas hak atas tanah
Hak tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Hak Tanggungan mendefinisikan hak tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.


BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Pelaksanaan Lelang pada Kantor Pelayanan Kekayaan dan Lelang Negara (KPKLN) terhadap Objek Lelang Eksekusi pada Bank Mandiri di Semarang
Bank merupakan lembaga keuangan yang dalam melakukan kegiatan usahanya harus berusaha seoptimal mungkin untuk memberikan pelayanan yang terbaik serta kepercayaan yang penuh kepada nasabahnya. Hal ini diberikan oleh pihak bank agar nasabah dapat mempercayakan bahwa uang yang mereka simpan akan aman, karena mengingat kegiatan operasional bank sangat bergantung pada kepercayaan dari nasabahnya.
Bank tidak hanya menghimpun dana dari masyarakat akan tetapi bank juga melakukan kegiatan berupa penyaluran kembali dana yang diperoleh bank tersebut kepada masyarakat melalui pemberian kredit dengan menerapkan prinsip kehati-hatian dengan menggunakan sistem perbankan yang sehat.
Sebelum pemberian kredit dilakukan oleh bank Mandiri kepada debitur, terlebih dahulu dilakukan penandatanganan perjanjian kredit sebagai tanda kesepakatan antara masing-masing pihak. Pemberian kredit antara bank Mandiri dengan debitur menimbulkan hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak dalam melakukan kegiatan perkreditan.
Kredit perbankan diberikan kepada debitur tidak hanya dalam bentuk pinjaman saja, akan tetapi juga disertai dengan penyerahan objek kebendaan yang dimiliki debitur kepada kreditur sebagai jaminan terhadap utang yang diberikan oleh kreditur agar pemberian kredit itu tidak disalahgunakan. Pada umumnya pemberian kredit yang menjadi objek jaminan adalah benda tidak bergerak yang berwujud dan bertitel seperti tanah. Penggunaan tanah sebagai jaminan kredit dilakukan berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang berbunyi:
Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.

Hak Tanggungan bukanlah suatu istilah yang baru dalam hukum jaminan, hak tanggungan merupakan suatu proses pembebanan yang diintrodusir oleh Undang-undang Pokok Agraria (UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria), yang sebelumnya belum dikenal sama sekali, baik dalam hukum adat maupun dalam KUH Perdata.
Jaminan pemberian kredit bank pada hakekatnya berfungsi untuk menjamin kepastian akan pelunasan utang debitur bila debitur cidera janji atau dinyatakan pailit, dengan adanya jaminan pemberian kredit tersebut, maka akan memberikan jaminan perlindungan, baik bagi keamanan dan kepastian hukum kreditur bahwa kreditnya akan tetap kembali walaupun nasabah debiturnya ingkar janji, yakni dengan cara mengeksekusi objek jaminan kredit bank yang bersangkutan.
Dasar hukum pelaksanaan eksekusi hak tanggungan terhadap perjanjian kredit dengan jaminan terjadi apabila debitur ingkar janji berdasarkan pada Pasal 6 Undang-undang Hak Tanggungan menyebutkan apabila debitur cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut. Sebagai perwujudan dari kemudahan pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan tersebut, ketentuan Pasal 20 ayat (1) Undang-undang Hak Tanggungan menyediakan 2 cara eksekusi benda yang menjadi obyek Hak Tanggungan yaitu :
1. Berdasarkan kekuasaan sendiri menjual objek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 Undang-undang Hak Tanggungan;
2. Berdasarkan titel eksekutorial dalam Sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) Undang-undang Hak Tanggungan.
Akan tetapi, berdasarkan penelitian di lapangan, proses penjualan barang jaminan hak tanggungan berupa tanah atau tanah dan bangunan oleh kreditur lebih sering dilakukan melalui penjualan di muka umum atau lelang dari pada melakukan penjualan melalui cara lain seperti yang diatur dalam Pasal 20 Undang-undang Hak Tanggungan, karena apabila kreditur telah menetapkan debitur ingkar janji maka biasanya debitur tidak perduli terhadap objek jaminan hak tanggungan kecuali objek hak tanggungan tersebut mempunyai makna tesendiri bagi debitur. Oleh karena itu untuk mempermudah kreditur melaksanakan eksekusi maka kreditur lebih memilih untuk melelang objek hak tanggungan melalui pelelangan umum dari pada melakukan penjualan di bawah tangan.
Kredit dengan Jaminan membutuhkan lembaga berwenang yang dapat menyelesaikan permasalahan lelang dan dalam hal ini lembaga yang berwenang adalah KPKNL sebagai institusi pemerintah sebagai pelaksana lelang yang diamanatkan oleh Undang-undang berdasarkan atas Vendu Reglement (Peraturan Lelang) Stb. 1908 Nomor 189 dan Vendu Instructie (Instruksi Lelang) Stb.1908 Nomor 190. Lelang eksekusi hak tanggungan dilaksanakan oleh KPKNL sebagai Instansi Pemerintah yang bertugas berdasarkan pada Pasal 1 angka 11 Peraturan Menteri Keuangan No. 93/PMK.06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang. KPKNL berkedudukan di dalam lingkungan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN), sehingga KPKNL merupakan instansi vertikal Direktorat Jenderal Kekayaan Negara.
Pelelangan umum pada KPKNL dilaksanakan oleh Pejabat lelang kelas I yang merupakan pegawai Direktorat Jenderal Kekayaan Negara yang berwenang melaksanakan lelang eksekusi, lelang noneksekusi wajib, dan lelang non eksekusi sukarela. KPKNL adalah satu-satunya institusi pemerintah yang melaksanakan lelang eksekusi hak tanggungan melalui pelelangan umum berdasarkan Pasal 1 angka 15 Peraturan Menteri Keuangan No. 93/PMK.06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang.
Permohonan pelaksanaan lelang pada KPKNL terhadap lelang eksekusi hak tanggungan bersifat pasif dalam arti bahwa lelang baru dapat dilaksanakan apabila terdapat permohonan dari kreditur yang diajukan kepada KPKNL.
Barang yang dijadikan jaminan terhadap kredit pada bank Mandiri di Semarang secara tidak langsung dikuasai dan/atau menjadi Barang Milik Negara/Daerah (BMN/BMD).
Pasal 48 Ayat (2) dan Pasal 49 Ayat (6) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, mengamanatkan pengelolaan BMN dituangkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah yang diatur dalam yang saat ini berlaku yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah. Barang milik negara/daerah meliputi :
1. Barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN/D; atau
2. Barang yang berasal dari perolehan lainnya yang sah, yang meliputi :
a. Barang yang diperoleh dari hibah/sumbangan atau yang sejenis;
b. Barang yang diperoleh sebagai pelaksanaan dari perjanjian/kontrak;
c. Barang yang diperoleh sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; atau
d. Barang yang diperoleh berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Pokok-pokok pengaturan pengelolaan BMN sesuai Penjelasan Umum Angka 2 Huruf h Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 meliputi hal-hal antara lain adalah pemanfaatan maupun pemindahtanganan BMN/D. Dalam penjelasan peraturan tersebut disebutkan bahwa pemanfaatan maupun pemindahtanganan BMN/D terjadi apabila tidak digunakan untuk penyelenggaraan pemerintahan negara/daerah. Dalam konteks pemanfaatan tidak terjadi adanya peralihan kepemilikan dari pemerintah kepada pihak lain. Sedangkan dalam konteks pemindahtanganan akan terjadi peralihan kepemilikan atas BMN/D dari pemerintah kepada pihak lain. Pemindahtanganan BMN/D merupakan tindak lanjut atas penghapusan BMN/D itu sendiri.
Satu bentuk pemindahtanganan BMN/D tersebut adalah melalui Penjualan aset BMN/D. Penjualan BMN/D pada prinsipnya dilakukan dengan cara lelang, kecuali dalam hal-hal tertentu yang pengaturan lebih lanjut diatur dalam peraturan pemerintah.
Bank Mandiri merupakan Badan Usaha Milik Negara yang memiliki fungsi bank pada umumnya, yaitu menghimpun dana dari masyarakat dan mengalokasikannya kembali kepada masyarakat melalui kredit, karena Bank Mandiri merupakan BUMN maka pelaksanaan aset badan usaha tersebut dilakukan dengan cara lelang pada KPKNL.
Lelang eksekusi hak tanggungan yang dilakukan oleh bank Mandiri di Semarang kapada KPKNL harus memenuhi syarat-syarat kelengkapan berkas,syarat-syarat kelengkapan berkas tersebut terdiri dari 3 (tiga) jenis dokumen yang diperiksa, jenis-jenis dokumen tersebut antara lain:
1. Jenis Dokumen Umum;
Jenis-jenis dokumen umum yang harus dilengkapi oleh bank Mandiri di Semarang selaku kreditur antara lain:
a. Syarat permohonan lelang yang dilakukan secara tertulis oleh pemohon;
b. Salinan/fotocopy Surat Keputusan Penunjukan Penjual;
c. Syarat lelang tambahan dari Penjual/Pemilik Barang (apabila ada);
Apabila ada syarat lelang tambahan dari penjual/pemilik barang tersebut, maka syarat tambahan tersebut minimal memuat tentang:
1) Jadwal penjelasan lelang kepada peserta lelang sebelum pelaksanaan lelang (aanwidjzing);
2) Jangka waktu bagi calon Pembeli untuk melihat, meneliti secara fisik barang yang akan dilelang;
3) Jangka waktu pembayaran Harga Lelang;
4) Jangka waktu pengambilan/penyerahan barang oleh Pembeli;
d. Daftar barang yang akan dilelang.
2. Jenis Dokumen Khusus;
Jenis-jenis dokumen khusus yang harus dilengkapi oleh bank Mandiri di Semarang selaku kreditur antara lain:
a. Salinan/fotocopy perjanjian kredit;
b. Salinan/fotocopy sertipikat hak tanggungan dan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT);
c. Salinan/fotocopy perincian utang/jumlah kewajiban debitur yang harus dipenuhi;
d. Salinan/fotocopy surat pernyataan kreditur bahwa debitur ingkar janji;
e. Salinan/fotocopy bukti bahwa debitur ingkar janji yang dapat berupa peringatan-peringatan dari pihak kreditur I, II, III;
f. Salinan/fotocopy Surat Kuasa untuk menjual apabila debitur tidak mampu untuk membayar utangnya;
g. Salinan/fotocopy surat pemberitahuan rencana pelaksanaan lelang kepada debitur oleh kreditur, yang diserahkan paling lambat 1 (satu) hari sebelum lelang, dilaksanakan dengan keterangan tidak harus pada saat penyerahan syarat dokumen diberikan atau dengan kata lain bahwa dapat menyusul dengan ketentuan diserahkan paling lambat 1 (satu) hari sebelum pelaksanaan lelang;
h. Asli/fotocopy bukti kepemilikan hak.
3. Jenis Dokumen Lain-lain.
Jenis-jenis dokumen khusus yang harus dilengkapi oleh bank Mandiri di Semarang selaku kreditur antara lain:
a. Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT), dilaksanakan dengan keterangan tidak harus pada saat penyerahan syarat dokumen diberikan atau dengan kata lain bahwa dapat menyusul dengan ketentuan diserahkan paling lambat 1 (satu) hari sebelum pelaksanaan lelang;
b. Pengumuman lelang pertama dan pengumuman lelang kedua, dilaksanakan dengan keterangan tidak harus pada saat penyerahan syarat dokumen diberikan atau dengan kata lain bahwa dapat menyusul dengan ketentuan diserahkan paling lambat 1 (satu) hari sebelum pelaksanaan lelang;
c. Surat pernyataan kreditur bertanggungjawab terhadap gugatan;
d. Surat Penetapan Nilai Limit;
e. Dokumen/berkas fotocopy harus dilegalisir.
Setelah syarat dokumen tersebut telah diserahkan kepada KPKNL, maka KPKNL menyatakan apakah berkas permohonan yang diajukan tersebut telah lengkap atau belum lengkap secara administrasi dan diperiksa kebenaran permohonan tersebut secara formal. Apabila berkas permohonan yang diajukan tersebut dinyatakan belum lengkap secara administrasi dan tidak benar secara formal maka lelang belum dapat diajukan untuk dilaksanakan oleh KPKNL dan berkas tersebut dikembalikan kepada Bank Mandiri untuk dilengkapi atau diberitahukan kepada Bank Mandiri untuk mengambil berkas di KPKNL supaya dilengkapi dan mengajukan permohonan kembali untuk dilaksanakan lelang.
Setelah syarat administrasi dipenuhi dan diserahkan kepada KPKNL, maka KPKNL baru dapat melaksanakan lelang. Dalam pelaksanaan lelang terdapat beberapa proses yang dilalui. Proses lelang dilakukan dengan 3 tahap, antara lain:
1. Tahap Pra Lelang.
Dalam tahap pra lelang, terkait dengan penelitian dokumen-dokumen yang diajukan oleh pemohon lelang dalam hal ini adalah bank selaku kreditur. Pejabat lelang bertanggung jawab untuk mengecek keterangan yang tercantum dalam dokumen-dokumen lelang yang telah diserahkan oleh kreditur namun dalam hal ini pejabat lelang tidak bertanggung jawab atas kebenarannya. Dengan kata lain, pejabat lelang hanya bertanggung jawab atas kebenaran formil, sedangkan kebenaran materil merupakan tanggung jawab pemilik barang/pemohon atau pihak yang mengeluarkan dokumen lelang yang bersangkutan namun demikian proses pelelangan tidak terlepas antara Pejabat Lelang dengan KPKNL, dimana jika dilihat dari struktur organisasi KPKNL Kota Semarang maka Pejabat Lelang berkedudukan sebagai pejabat fungsional. Dasar penugasan pejabat lelang dalam setiap pelelangan dilakukan dengan mengeluarkan Surat Tugas Penunjukan Pejabat Lelang oleh Kepala Seksi Pelayanan Lelang yang ditandatangani oleh Kepala KPKNL. Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa seorang pejabat lelang hanyalah sebagai pelaksana tugas yang diberikan oleh KPKNL sebagai pemandu lelang. Dalam pelaksanaan lelang, apabila terdapat tuntutan perdata terhadap pejabat lelang yang berkaitan dengan proses pelelangan, maka KPKNL lah yang wajib bertanggung jawab sebagai suatu instansi yang memberikan tugas. berdasarkan hasil wawancara yang diperoleh, apabila terdapat gugatan perdata, maka KPKNL lah yang bertanggung jawab namun apabila terdapat pelanggaran dalam lingkup pidana maka yang bertanggung jawab adalah pejabat lelang yang melaksanakan lelang tersebut.
Selain hal tersebut, pembatasan-pembatasan tanggung jawab pejabat lelang antara lain:
a. Pembagian tanggung jawab dalam setiap proses pelelangan;
b. Dalam dokumen-dokumen lelang yang harus dipenuhi sebelum terjadinya pelelangan, antara lain :
1) Surat Pernyataan dari pemilik barang atau dari Balai lelang atau penjual yang akan bertanggung jawab apabila terjadi gugatan perdata atau tuntutan pidana (terlampir);
2) Surat Pernyataan dari Balai Harta Peninggalan/Kurator yang akan bertanggungjawab apabila terjadi gugatan perdata atau tuntutan pidana;
3) Risalah Lelang yang merupakan akta otentik (terlampir).
Pejabat lelang kelas I harus memeriksa legalitas suatu barang yang diajukan oleh pemohon, dimana untuk mengetahuinya pejabat lelang dapat mengajukan permintaan keterangan kepada instansi terkait atau keterangan pihak pemohon atau pemilik barang, sehingga jika terdapat gugatan yang berkaitan dengan hal tersebut maka instansi terkait lah yang bertanggung gugat. Misalnya dalam pencocokan atas keterangan yang berkaitan dengan barang berupa tanah maka dimintakan Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT) dari Kantor Pertanahan, mengenai kekayaan milik pemerintah diajukan dengan cara meminta surat keputusan penghapusan dari instansi pemerintah terkait dengan mengajukan permohonan dan ketentuan persyaratan dokumen-dokumen yang harus dipenuhi dalam setiap proses pelelangan.
Pengumuman lelang yang merupakan salah satu syarat yang harus dilakukan sebelum pelelangan dilaksanakan dengan tujuan untuk mencegah timbulnya gugatan. Maksud dan tujuan dari pengumuman adalah antara lain :
a. Memberikan kesempatan pada pihak ketiga yang merasa keberatan atas proses lelang, khususnya pada saat pengumuman lelang eksekusi pihak yang keberatan dapat mengajukan keberatan/verset untuk menunda pelaksanaan lelang;
b. Memberikan kesempatan kepada masyarakat secara luas untuk membeli barang dari pelelangan;
c. Sebagai shock terapy bagi masyarakat agar menimbulkan efek jera, sehingga diharapkan debitur yang tadinya bermalas-malasan memenuhi kewajibannya akan timbul kesadaran untuk melunasi kewajiban-kewajibannya karena takut barang miliknya bisa saja dilelang sebagai bagian pelunasan utang-utangnya;
d. Mencari pembeli yang potensial.
Oleh karena itu pengumuman lelang harus memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yaitu seperti yang tercantum dalam Surat Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 93/PMK.06/2010 tentang Petunjuk Pelaksana Lelang mengenai pengumuman lelang.
Pelaksanaan pra lelang merupakan hal dasar dalam permohonan lelang. Permohonan lelang dapat dilakukan di KPKNL sebagai institusi pemerintah atau Kantor Balai Lelang yang ditunjuk oleh kreditur, akan tetapi dalam hal ini bank Mandiri di Semarang tidak menggunakan jasa Balai Lelang karena akan menyulitkan kreditur dalam pelaksanaan lelang, hal ini disebabkan karena Balai Lelang bukanlah merupakan instansi yang berkaitan langsung dengan KPKNL, melainkan Balai Lelang merupakan perusahaan swasta berbentuk perseroan terbatas yang memberikan jasa kepada pemohon lelang untuk melaksanakan kegiatan jasa pra lelang dan pasca lelang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 16 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 176/PMK.06/2010 tentang Balai Lelang. Oleh karena itu bank Mandiri di Semarang tidak menggunakan jasa Balai Lelang, akan tetapi bank Mandiri di Semarang lebih memilih KPKNL dalam melaksanakan pra lelang dan pasca lelang agar tidak menyulitkan bank Mandiri di Semarang dalam pelaksanaan lelang.
Permohonan telah diajukan oleh bank Mandiri di Semarang kepada KPKNL, kemudian KPKNL melakukan pengumuman sebanyak 2 (dua) kali, pengumuman tersebut berupa:
a. Pengumuman Pertama;
Pengumuman pertama meliputi pengumuman berbentuk selebaran yang mengumumkan bahwa telah terjadi utang piutang antara debitur dan kreditur dimana debitur telah ingkar janji terhadap perjanjian kredit yang dilangsungkan antara kedua belah pihak dan untuk memenuhi utang piutang tersebut barang yang dijadikan jaminan terhadap utang piutang akan dieksekusi. pengumuman pertama dilakukan sebagai bentuk pemberitahuan kepada masyarakat dan menyatakan bahwa telah terjadi pemberian kredit antara bank Mandiri di Semarang dengan debitur, dan dalam hal ini debitur tidak mampu untuk melaksanakan pemenuhan kewajibannya untuk membayar utang maka jaminan terhadap kredit tersebut akan dieksekusi dan pelaksanaan eksekusi tersebut dilaksanakan di KPKNL. Selebaran tersebut diumumkan dengan maksud agar debitur, kreditur dan masyarakat secara luas dapat mengetahui akan dilaksanakan lelang eksekusi. Pengumuman pertama ini memuat tentang:
1) Nama pemilik barang yang akan dieksekusi dalam hal ini adalah debitur yang tidak mampu memenuhi perjanjian kredit dengan bank Mandiri di Semarang;
2) Letak, luas, batas, ada atau tidaknya bangunan yang terdapat pada jaminan hak tanggungan dimana jaminan hak tanggungan tersebut berada;
3) Limit harga yang ditentukan oleh penjual atau pemilik barang penjual dan/atau pemilik barang yang dalam menentukan nilai limit berdasarkan pada:
a) Penilaian oleh penilai, yaitu pihak yang melakukan penilaian secara independent berdasarkan kompetensinya;
b) Penilaian oleh penaksir, yaitu pihak yang berasal dari instansi atau penaksir dari penjual.
4) Jumlah uang jaminan yang harus disetorkan sebagai syarat untuk mengikuti lelang. Jumlah uang setoran ini sebesar 20% (duapuluh persen) dari limit harga, apabila jumlah jaminan yang harus disetor mencapai harga Rp. 20.000.000,00,- (duapuluh juta rupiah) maka penyetoran dilakukan melalui bank pada rekening bank BNI maksimal 1 (satu) hari sebelum pelaksanaan lelang, akan tetapi apabila jumlah jaminan yang harus disetor sebesar 20% (duapuluh persen) tersebut tidak mencapai harga Rp. 20.000.000,00,- (duapuluh juta rupiah) maka penyetoran dapat dilakukan setelah diterbitkannya pengumuman lelang sampai dengan sebelum pelaksanaan lelang dilaksanakan;
5) Waktu dan tempat pelaksanaan lelang. Waktu pelaksanaan lelang ditentukan pada hari dan jam kerja, biasanya pelaksanaan lelang diumumkan setelah pengumuman lelang kedua, jangka waktu pengumuman pertama dan pengumuman kedua sekurang-kurangnya 15 (limabelas) hari setelah pengumuman lelang pertama. Mengenai tempat pelaksanaan lelang, tempat pelaksanaan lelang ini memuat tentang KPKNL yang berwenang untuk melaksanakan lelang. Dalam hal ini KPKNL yang berwenang untuk melaksanakan lelang eksekusi hak tanggungan pada bank Mandiri di Semarang dilaksanakan pada Kantor Wilayah Direktorat Jendral Kekayaan Negara (DJKN) Jawa Tengah yang mempunyai lingkup kerja di Kota Semarang, Salatiga, Blora, Kudus, Temanggung, Demak, Jepara, Rembang, Magelang, Grobogan, dan Kabupaten Semarang. Dalam hal lelang barang tidak bergerak dilaksanakan di tempat yang dikehendaki Penjual, dengan ketentuan tetap harus memperhatikan wilayah kerja KPKNL, bila objek lelang tersebar di wilayah kerja beberapa KPKNL, selanjutnya akan dilelang di satu KPKNL, perlu ijin Superintenden.
Pada prinsipnya pengumuman lelang ini berfungsi untuk melakukan penegakan hukum dan publikasi untuk menarik minat peserta lelang.
b. Pengumuman Kedua.
Pengumuman ini dilakukan dalam bentuk pengumuman pada media massa, dimana pengumuman kedua ini meliputi pengumuman yang berbentuk iklan yang tujuannya agar debitur, kreditur, pihak ketiga dan masyarakat secara luas dapat mengetahui akan dilaksanakan lelang eksekusi. Pengumuman kedua dilakukan sebagai tindak lanjut terhadap pengumuman pertama dan mempunyai fungsi yang sama, yaitu berfungsi sebagai salah satu wujud pemberitahuan kepada masyarakat yang menyatakan bahwa telah terjadi pemberian kredit antara bank Mandiri di Semarang sebagai kreditur kepada debitur, dan dalam hal ini debitur tidak mampu untuk melaksanakan pemenuhan kewajibannya untuk membayar utang maka jaminan terhadap kredit tersebut akan dieksekusi dan pelaksanaan eksekusi tersebut dilaksanakan di Kantor Wilayah Direktorat Jendral Kekayaan Negara (DJKN) Jawa Tengah.
Waktu pelaksanaan lelang ditentukan pada hari dan jam kerja, biasanya dalam pengumuman ditentukan jadwal pelaksanaan lelang. Waktu pelaksanaan lelang biasanya ditentukan dalam jangka waktu sekurang-kurangnya 14 (empatbelas) hari setelah pengumuman lelang kedua. Mengenai tempat pelaksanaan lelang, tempat pelaksanaan lelang ini memuat tentang KPKNL yang berwewenang untuk melaksanakan lelang.

2. Tahap Pelaksanaan Lelang.
Secara umum tahap-tahap yang harus dilakukan dalam pelaksanaan lelang terdiri dari:
a. Melakukan penyetoran uang kepada Bank BNI dengan nomor rekening Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Kota Semarang yang besarnya ditentukan pada saat pengumuman lelang dan uang tersebut digunakan sebagai jaminan agar dapat mengikuti proses lelang terhadap lelang eksekusi hak tanggungan tersebut.
b. Peserta lelang yang telah melakukan penyetoran, melakukan registrasi ulang di Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) untuk dicatatkan dan diikutsertakan dalam pelaksanaan lelang.
c. Setelah melakukan registrasi, maka peserta lelang baru dapat mengikuti lelang yang dilaksanakan oleh Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) yang dalam hal ini dipimpin oleh pejabat lelang kelas I .
Pelaksanaan lelang berdasarkan dalam pasal 1 Vendu Reglement yang saat ini masih berlaku menyatakan bahwa setiap penjualan barang dimuka umum dengan cara penawaran harga naik-naik, turun-turun, dan atau tertulis melalui usaha mengumpulkan para peminat/peserta lelang yang dipimpin oleh Pejabat Lelang atau Vendumeester (juru lelang). Kedudukan Pejabat Lelang seperti yang telah dikemukakan dalam pembahasan pertama adalah Pejabat Fungsional yang diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Keuangan serta mengangkat sumpah sebelum melaksanakan tugasnya dan dalam pendelegasian pelaksanaan tugasnya akan diberikan Surat Tugas Penjunjukan yang ditunjuk oleh Kepala Seksi Pelayanan Lelang yang ditandatangani oleh Kepala Kantor KPKNL.
Pelaksanaan lelang di KPKNL, pemohon lelang yang dalam hal ini adalah bank Mandiri diwajibkan untuk hadir dalam pelaksanaan lelang, apabila pemohon dan/atau pegawai bank Mandiri yang ditunjuk untuk mewakili bank Mandiri tidak hadir pada pelaksanaan lelang maka lelang eksekusi hak tanggungan akan dibatalkan.
Berdasarkan data dilapangan, dalam kurun waktu 1 (satu) tahun yaitu pada tahun 2011, bank Mandiri di Semarang telah mengajukan permohonan lelang sebanyak 5 (lima) kali dengan jumlah debitur sebanyak 32 (tigapuluh dua) orang yang dihitung berdasarkan frekuensi risalah lelang yang diputuskan oleh KPKNL yaitu sebanyak 32 (tigapuluh dua) risalah lelang dengan 32 (tigapuluh dua) debitur. Jadi dalam 1 (satu) kali permohonan lelang oleh bank Mandiri Semarang dapat dilakukan terhadap beberapa debitur dan masing-masing debitur dibuat 1 (satu) risalah lelang oleh KPKNL. Dengan demikian dalam kurun waktu 1 (satu) tahun selama pelaksanaan lelang yang dilaksanakan KPKNL terhadap permohonan lelang bank Mandiri selama 2011 adalah sebanyak 32 risalah lelang.
3. Tahap Pasca Lelang.
Tahap pasca lelang dilakukan setelah lelang selesai dilaksanakan dan telah ditentukan pemenang lelang. Kegiatan pasca lelang terbagi dalam beberapa hal, antara lain:
a. mengkoordinasikan cara pelunasan pembayaran harga lelang dengan pemenang lelang agar tidak melampaui batas waktu pelunasan yang telah ditentukan yaitu maksimal 3 (tiga) hari kerja;
b. mengkoordinasikan pengiriman hasil lelang dari KPKNL kepada pemohon;
c. mengkoordinasikan dengan Pejabat Lelang untuk penyerahan kutipan Risalah Lelang kepada Pemenang Lelang;
d. mengkoordinasikan dengan Pejabat Lelang untuk penyetoran pajak BPHTB bagi pemenang lelang, pembayaran BPHTB ditanggung oleh pemenang lelang yang sebesar 5% dari harga lelang yang disetorkan ke kas daerah;
e. mengkoordinasikan dengan Pejabat Lelang untuk penyetoran Bea Lelang oleh pemenang lelang, bea lelang pemenang lelang sebesar 1% dari harga lelang yang disetorkan ke kas negara;
f. mengkoordinasikan penyerahan sertifikat atau objek lelang kepada pembeli.
g. Memberikan Pelayanan terhadap complaint baik itu pemenang lelang atau peserta lelang.
Pelaksanaan lelang selalu dibuat berita acara berupa Risalah Lelang, karena Risalah Lelang merupakan akta otentik, maka dalam pembuatannya harus memuat hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaan lelang. Untuk itu perlu diketahui hal-hal yang harus dimuat dalam Risalah Lelang, bentuk Risalah Lelang, serta siapa-siapa saja yang berhak mendapat Risalah Lelang.
Risalah Lelang merupakan legal output dari KPKNL. Menurut Pasal 1868 KUH Perdata jo Pasal 37, 38 dan 39 Vendu Reglement, Risalah Lelang termasuk akta otentik, selanjutnya menurut Pasal 1870 KUH Perdata, akta otentik merupakan bukti yang sempurna. Risalah Lelang juga merupakan akta otentik dalam bentuk perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi para pihak.
Persetujuan-persetujuan dalam risalah lelang tersebut tidak dapat ditarik kembali selain terdapat kesalahan atau kelalaian yang tidak dapat ditertuang dalam risalah lelang tersebut.
Pasal 35 Vendu Reglement mengatakan “Tiap penjualan dimuka umum oleh juru lelang atau kuasanya dibuat berita acara tersendiri yang bentuknya ditetapkan seperti dimaksud dalam Pasal 37, 38 dan 39 Vendu Reglement”. Namun dalam perkembangannya istilah berita acara, lelang tersebut berubah menjadi Risalah Lelang.
Risalah merupakan laporan mengenai jalannya suatu pertemuan yang disusun secara teratur dan dipertanggungjawabkan oleh si pembuat dan atau pertemuan itu sendiri, sehingga mengikat sebagai dokumen resmi dari kejadian/peristiwa yang disebutkan di dalamnya. Dari kedua pengertian tentang berita acara dan risalah tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Risalah Lelang adalah Berita acara yang merupakan dokumen resmi dari jalannya penjualan dimuka umum atau lelang yang disusun secara teratur dan dipertanggungjawabkan oleh Pejabat Lelang dan para pihak (penjual dan pembeli) sehingga pelaksanaan lelang yang disebut di dalamnya mengikat. Menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.06 tahun 2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang dinyatakan bahwa Risalah Lelang adalah berita acara pelaksanaan lelang yang dibuat oleh Pejabat Lelang yang merupakan akta otentik dan mempunyai kekuatan pembuktian sempurna, dengan pengertian lelang yang dimaksud, maka Risalah Lelang harus memuat:
a. Objek atas barang yang dilelang;
b. Latar belakang sampai timbulnya lelang;
c. Tempat dilaksanakan lelang;
d. Proses terjadinya penawaran sampai dengan ditunjuknya Pembeli Lelang;
e. Pihak-pihak yang terlibat dalam lelang, baik Pejabat Lelang, pemohon/penjual lelang, para penawar, dan Pembeli Lelang.
Risalah Lelang merupakan berita acara dari peristiwa atau apa yang terjadi dan dialami para pihak yaitu jual beli dimuka umum/lelang, yang digunakan sebagai alat pembuktian yang sah sesuai pengertian dari Risalah Lelang itu sendiri. Setiap Risalah Lelang harus ditandatangani oleh para pihak baik Pejabat Lelang, Pejabat Penjual maupun Pembeli (Pasal 38 Vendu Reglement). Tiap lembar pada sudut kanan atas harus ditandatangani oleh Pejabat Lelang kecuali pada lembar terakhir, karena pada lembar terakhir ini berarti terdapat bagian kaki/penutup dari Risalah Lelang yang harus ditandatangani Pejabat Lelang. Risalah Lelang ditandatangani oleh Penjual, Pejabat Lelang dan Pembeli Dalam hal apabila penjual tidak menandatangani, maka dicatat pada bagian kaki/penutup risalah lelang yang berlaku dan dianggap penjual telah menandatangani risalah lelang ini sebagai tanda persetujuannya.
Setelah ditanda tangani risalah lelang, maka penjual/pemohon yang dalam hal ini adalah pegawai bank Mandiri Semarang yang ditunjuk untuk mewakili bank Mandiri akan diberikan salinan risalah lelang yang merupakan turunan dari seluruh kegiatan lelang yang tertuang dalam satu kesatuan dokumen yang terdapat pada risalah lelang, sedangkan pemenang lelang akan mendapatkan kutipan risalah lelang yang hanya memuat sebagian dari salinan risalah lelang yang hanya memuat bagian dari pembelian dalam lelang.
Setelah ditetapkan pemenang lelang, maka pemenang lelang harus melakukan pembayaran harga lelang dan bea lelang secara tunai/cash atau cek/giro paling lama 3 (tiga) hari kerja setelah pelaksanaan lelang. Dalam hal pembeli tidak melunasi kewajiban pembayaran setelah 3 (tiga) hari kerja atau pada hari kerja berikutnya maka pejabat lelang harus membatalkan pengesahannya sebagai pembeli dengan membuat pernyataan pembatalan pembeli yang tidak dapat memenuhi kewajibannya setelah disahkan sebagai pembeli Lelang, dan pemenang lelang tidak diperbolehkan mengikuti lelang di seluruh wilayah Indonesia dalam waktu 6 (enam) bulan berturut-turut.
Pelaksanaan lelang oleh pejabat lelang kelas I di KPKNL mempunyai kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan, yang diatur dalam Pasal 13 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 174/PMK.06/2010 tentang Pejabat lelang kelas I . Kewajiban-kewajiban tersebut antara lain:
1. Bertindak jujur, seksama, mandiri, tidak berpihak dan menjaga kepentingan pihak yang terkait;
2. Meneliti legalitas formal subjek dan objek lelang;
3. Membuat bagian Kepala Risalah Lelang sebelum pelaksanaan lelang;
4. Membacakan bagian Kepala Risalah Lelang di hadapan peserta lelang pada saat pelaksanaan lelang, kecuali dalam Lelang Non eksekusi Sukarela melalui internet;
5. Menjaga ketertiban pelaksanaan lelang;
6. Membuat Minuta Risalah Lelang;
7. Membuat Salinan Risalah Lelang, Kutipan Risalah Lelang atau Grosse Risalah Lelang sesuai peraturan perundang-undangan dan meminta dan meneliti keabsahan bukti pelunasan harga lelang, Bea Lelang, Pajak Penghasilan Final, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan, dan pungutan-pungutan lain yang diatur sesuai peraturan perundang-undangan.
Pejabat lelang kelas I mempunyai kewajiban yang harus dipenuhi berdasarkan Pasal 13 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 174/PMK.06/2010 tentang Pejabat lelang kelas I , pejabat lelang kelas I mempunyai ketentuan yang dilarang sebagaimana diatur dalam Pasal 14 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 174/PMK.06/2010 tentang Pejabat lelang kelas I. Larangan-larangan tersebut antara lain:
1. Melayani permohonan lelang di luar kewenangannya;
2. Dengan sengaja tidak hadir dalam pelaksanaan lelang yang telah dijadwalkan;
3. Membeli barang yang dilelang di hadapannya baik secara langsung maupun tidak langsung;
4. Melakukan pungutan lain di luar yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan;
5. Melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan kepatutan sebagai Pejabat Lelang;
6. Menolak permohonan lelang yang telah memenuhi legalitas formal subjek dan objek lelang dengan dilengkapi dokumen yang dipersyaratkan dan/atau melibatkan keluarga sedarah dalam garis lurus keatas dan kebawah derajat pertama, suami/isteri serta saudara sekandung Pejabat Lelang dalam pelaksanaan lelang yang dipimpinnya.
Secara umum prinsip-prinsip tanggung jawab pejabat lelang kelas I dapat dibedakan sebagai berikut:
1. Berdasarkan Unsur Kesalahan (liability based on fault);
Prinsip ini menyatakan seorang baru dapat dimintakan pertanggungjawaban hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukan, yang dimaksud kesalahan disini adalah unsur yang bertentangan dengan hukum. Pengertian hukum tidak hanya bertentangan dengan undang-undang tetapi juga kepatutan dan kesusilaan dalam masyarakat. Secara common sense, asas tanggung jawab ini dapat diterima karena adil bagi orang yang berbuat salah untuk mengganti kerugian bagi pihak korban atau dengan kata lain tidak adil jika orang yang tidak bersalah harus mengganti kerugian yang diderita orang lain. Prinsip ini dipegang teguh oleh pasal 1365, 1366, dan 1367 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Prinsip ini menyatakan seseorang baru dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya yaitu kesengajaan, kelalaian, dan tidak ada alasan pemaaf dan pembenar.
2. Praduga Selalu Bertanggung Jawab (presumption of liability);
Prinsip ini menyatakan tergugat (pejabat lelang kelas I ) selalu dianggap bertanggung jawab sampai ia dapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah, jadi beban pembuktian ada pada tergugat. Tergugat harus menghadirkan bukti-bukti bahwa dirinya tidak bersalah, dengan begitu penggugat (debitur) tidak berarti dapat sekehendak hati mengajukan gugatan karena tampak beban pembuktian terbalik diterima dalam prinsip tersebut. Posisi debitur selalu terbuka untuk digugat balik oleh pejabat lelang kelas I jika penggugat gagal menunjukkan kesalahan si tergugat atau dengan kata lain tergugat mampu membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah.
3. Praduga Selalu Tidak Bertanggung Jawab (presumption of nonliability);
Prinsip ini kebalikan dari prinsip yang kedua, prinsip ini hanya dikenal dalam lingkup transaksi debitur yang sangat terbatas yang pembatasannya biasanya secara common sense dapat dibenarkan. Penerapan prinsip ini adalah pada hukum pengangkutan dimana ketentuannya bahwa kehilangan atau kerusakan pada bagasi kabin/bagasi tangan yang biasanya dibawa dan diawasi oleh penumpang adalah tanggung jawab penumpang sendiri. Pelaku usaha tidak dapat diminta pertanggungjawabannya, namun demikian prinsip ini tidak lagi diterapkan secara mutlak, artinya bagasi tangan dapat diminta pertanggungjawaban kepada pengangkut sepanjang bukti kesalahan pengangkut dapat ditunjukkan. Pihak yang dibebankan untuk membuktikan kesalahan itu ada pada penggugat (penumpang).
4. Tanggung Jawab Mutlak (strict liability);
Prinsip ini menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan pertanggungjawaban pelaku usaha namun harus ada hubungan kausalitas antara subjek yang bertanggung jawab dan kesalahannya. Terdapat pengecualian yang memungkinkan pelaku usaha terbebas dari tanggung jawab seperti keadaan force majeure. Prinsip ini dalam perlindungan debitur secara umum digunakan untuk “menjerat” pelaku usaha khususnya pejabat lelang kelas I yang melaksanakan lelang yang merugikan debitur. Asas tanggung jawab itu dikenal dengan nama product liability. Menurut asas ini, pejabat lelang kelas I wajib bertanggung jawab atas kerugian yang diderita debitur atas tindakan yang dilakukannya tersebut. Gugatan product liability dapat dilakukan berdasarkan tiga hal yaitu melanggar jaminan misalnya akibat yang timbul tidak sesuai dengan perjanjian yang dilakukan, ada unsur kelalaian seperti pejabat lelang kelas I lalai memenuhi standar pembuatan risalah lelang yang baik dan menerapkan tanggung jawab mutlak.
5. Pembatasan Tanggung Jawab (limitation of liability);
Prinsip ini sangat merugikan debitur bila ditetapkan secara sepihak oleh pejabat lelang kelas I , sebaliknya sangat disenangi oleh pejabat lelang kelas I untuk dicantumkan sebagai klausula eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya. Pejabat lelang kelas I tidak boleh secara sepihak menentukan klausul yang merugikan debitur termasuk membatasi maksimal tanggung jawabnya. Jika ada pembatasan mutlak harus berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang jelas.
Aspek pertama dalam pembahasan perlindungan pemenang lelang merupakan persoalan tentang tanggung jawab pejabat lelang kelas I atas kerugian sebagai akibat yang ditimbulkan oleh perbuatannya. Berdasarkan Pasal 25 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 174/PMK.06/2010 tentang Pejabat lelang kelas I apabila pejabat lelang kelas I melakukan perbuatan yang dilarang sebagaimana ditentukan pada Pasal 14 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 174/PMK.06/2010 tentang Pejabat lelang kelas I maka pejabat lelang kelas I akan dikenakan sanksi. Sanksi yang dijatuhkan kepada Pejabat lelang kelas I meliputi:
1. Peringatan tertulis sebagaimana diatur pada Pasal 26 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 174/PMK.06/2010 tentang Pejabat lelang kelas I terdiri dari:
a. Peringatan tertulis dijatuhkan kepada Pejabat lelang kelas I dalam hal:
1) Melakukan kesalahan dalam pembuatan Risalah Lelang, termasuk tetapi tidak terbatas pada perbedaan data objek lelang, Harga Lelang, pengenaan tarif Bea Lelang;
2) Tdak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13; dan/atau
3) Terlambat membuat Minuta Risalah Lelang.
b. Kepala Kantor Wilayah menjatuhkan peringatan tertulis paling lambat 7 (tujuh) hari berdasarkan hasil pemeriksaan langsung atau tidak langsung dan/atau Hasil Penilaian Kinerja Pejabat lelang kelas I;
c. Pejabat lelang kelas I yang tidak memenuhi peringatan tertulis dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak diterimanya surat peringatan, oleh Kepala Kantor Wilayah diusulkan untuk dibebastugaskan kepada Direktur Jenderal dengan tembusan kepada Direktur.
2. Pembebastugasan diatur dalam Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, dan Pasal 31 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 174/PMK.06/2010 tentang Pejabat lelang kelas I terdiri dari:
a. Pembebastugasan Pejabat lelang kelas I dilakukan oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri.
b. Pembebastugasan dijatuhkan kepada Pejabat lelang kelas I dalam hal:
1) adanya usulan pembebastugasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (3);
2) melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14;
3) melaksanakan lelang tanah dan/atau tanah dan bangunan tanpa dilengkapi Surat Keterangan Tanah dari Kantor Pertanahan; atau
4) telah berstatus sebagai terdakwa dalam perkara pidana dengan ancaman hukuman penjara.
Berdasarkan Pasal 28 usulan pembebastugasan Pejabat lelang kelas I diajukan oleh Kepala Kantor Wilayah kepada Direktur Jenderal dengan melampirkan:
a. Surat peringatan dari Kepala Kantor Wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2);
b. Bukti adanya pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) huruf b dan huruf c; dan/atau
c. Surat keterangan dari Pejabat yang berwenang bahwa Pejabat lelang kelas I berstatus sebagai terdakwa.
Berdasarkan Pasal 29 pembebastugasan Pejabat lelang kelas I diajukan oleh Kepala Kantor Wilayah kepada Direktur Jenderal dalam hal:
a. Pembebastugasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dijatuhkan kepada Pejabat lelang kelas I oleh Direktur Jenderal dengan menetapkan keputusan pembebastugasan yang berisi larangan melaksanakan jabatannya selama 6 (enam) bulan sejak tanggal ditetapkan dengan tembusan kepada Direktur;
b. Jika Pejabat lelang kelas I yang telah dibebastugaskan 1 (satu) kali mengulangi perbuatan/pelanggaran yang sama atau pelanggaran lainnya, maka Direktur Jenderal membebastugaskan Pejabat lelang kelas I dimaksud dengan menetapkan keputusan pembebastugasan kedua yang berisi larangan melaksanakan jabatannya selama 1 (satu) tahun;
c. Jika Pejabat lelang kelas I yang telah dibebastugaskan sebanyak 2 (dua) kali sebagaimana dimaksud pada ayat (2), mengulangi perbuatan/pelanggaran yang sama atau pelanggaran lainnya, Direktur Jenderal menetapkan keputusan pemberhentian tidak dengan hormat terhadap yang bersangkutan selaku Pejabat lelang kelas I;
d. Keputusan Direktur Jenderal tentang pembebastugasan Pejabat lelang kelas I diterbitkan paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah usul pembebastugasan dari Kepala Kantor Wilayah diterima oleh Direktur Jenderal.
Berdasarkan Pasal 30 pembebastugasan Pejabat lelang kelas I diajukan oleh Kepala Kantor Wilayah kepada Direktur Jenderal antara lain:
a. Dikecualikan dari ketentuan Pasal 29 ayat (2) dan ayat (3), jangka waktu pembebastugasan diberikan untuk setiap 6 (enam) bulan dan dapat diperpanjang paling lama 18 (delapan belas) bulan untuk Pejabat lelang kelas I yang berstatus sebagai terdakwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) huruf d;
b. Usulan perpanjangan pembebastugasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Kepala Kantor Wilayah yang bersangkutan kepada Direktur Jenderal;
c. Apabila jangka waktu pembebastugasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah berakhir, namun proses perkara belum selesai, yang bersangkutan diberhentikan dengan hormat selaku Pejabat lelang kelas I;
d. Dalam hal Pejabat lelang kelas I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) huruf d tidak terbukti bersalah berdasarkan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, Pejabat lelang kelas I yang telah diberhentikan dengan hormat atau sedang dalam masa pembebastugasan dapat mengajukan permohonan pengangkatan kembali atau pencabutan sanksi pembebastugasan kepada Kepala Kantor Wilayah setempat melalui Kepala KPKNL;
e. Dalam hal berdasarkan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap Pejabat lelang kelas I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) huruf d terbukti bersalah, yang bersangkutan diberhentikan tidak dengan hormat selaku Pejabat lelang kelas I.
Berdasarkan Pasal 31 permohonan pengangkatan kembali atau pencabutan sanksi pembebastugasan Pejabat lelang kelas I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (4), harus melampirkan:
a. Surat Keputusan pengangkatan Pejabat lelang kelas I;
b. Surat Keputusan pemberhentian dengan hormat atau pembebastugasan; dan
c. Salinan/fotokopi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
3. Pemberhentian tidak dengan hormat diatur dalam Pasal 32, Pasal 33, dan Pasal 34 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 174/PMK.06/2010 tentang Pejabat lelang kelas I terdiri dari:
a. Pejabat lelang kelas I diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatannya, jika:
1) Melaksanakan lelang tanpa surat tugas Kepala KPKNL;
2) Melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (3); atau
3) Dijatuhi hukuman pidana penjara berdasarkan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (5);
4) Sanksi pemberhentian tidak dengan hormat tidak perlu didahului dengan surat peringatan.
Berdasarkan Pasal 33 pembebastugasan Pejabat lelang kelas I diajukan oleh Kepala Kantor Wilayah kepada Direktur Jenderal antara lain:
a. Kepala Kantor Wilayah mengajukan usulan pemberhentian tidak dengan hormat Pejabat lelang kelas I secara tertulis kepada Direktur Jenderal melalui Sekretaris DJKN dengan tembusan kepada Direktur, paling kurang dengan melampirkan:
1) Surat keterangan Kepala Kantor Wilayah berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap Pejabat lelang kelas I yang melakukan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) huruf a dan huruf b;
2) Salinan atau fotokopi keputusan majelis hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) huruf c; dan/atau
3) Keputusan pembebastugasan kesatu dan kedua serta surat keterangan Kepala Kantor Wilayah berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap Pejabat lelang kelas I yang mengulangi perbuatan pelanggaran yang sama/pelanggaran lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2).
b. Direktur Jenderal menerbitkan Keputusan Pemberhentian Tidak Dengan Hormat kepada Pejabat lelang kelas I dengan tembusan kepada Direktur, paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah usulan pemberhentian dari Kepala Kantor Wilayah diterima oleh Direktur Jenderal.
Berdasarkan Pasal 34 sanksi pembebastugasan dan pemberhentian tidak dengan hormat Pejabat lelang kelas I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dan Pasal 32 tidak menutup kemungkinan penjatuhan sanksi sebagaimana diatur dalam peraturan kepegawaian dan adanya gugatan perdata dan/atau tuntutan pidana sesuai peraturan perundang-undangan.
Menurut definisi yang diuraikan di atas, lelang eksekusi hak tanggungan yang dilaksanakan oleh KPKNL mempunyai 2 (dua) fungsi, yaitu fungsi privat yang berupa mengamankan asset yang dimiliki atau dikuasai oleh Negara untuk meningkatkan efisiensi dan tertib administrasi dari pengelolaan asset tersebut, pelayanan penjualan barang dalam rangka mewujudkan law enforcement yang mencerminkan keadilan, keamanan dan kepastian hukum, dan mengumpulkan penerimaan Negara dalam bentuk bea lelang dan uang miskin, serta fungsi publik yang berupa Lelang sebagai suatu sarana yang dapat digunakan oleh aparatur negara untuk menjalankan tugas umum pemerintahan di bidang penegakan hukum dan pelaksanaan Undang-undang. Lelang ini mempunyai fungsi untuk mengamankan aset-aset negara dan sekaligus meningkatkan efisiensi dari pengolahan kekayaan negara serta dalam rangka meningkatkan penerimaan negara.
Selain itu, Pejabat lelang kelas I hanya sebagai pegawai negeri yang ditunjuk dan ditugaskan oleh KPKNL untuk memandu lelang, meskipun tujuan lelang tersebut untuk mempermudah pelayanan kepada pemohon untuk menjual barang yang menjadi sitaan terhadap jaminan kredit hak tanggungan bukan berarti pelayanan tersebut bebas risiko, dalam melaksanakan lelang Pejabat lelang kelas I bertanggung jawab atas perbuatannya yang telah dilakukan terhadap pelaksanaan lelang eksekusi hak tanggungan di KPKNL apabila menimbulkan atau menyebabkan kerugian karena cacat yang melekat pada keputusannya tersebut dan tanggung jawab tersebut hanya sebatas pelaksanaan lelang yang dilaksanakan oleh pejabat lelang kelas I di KPKNL, pejabat lelang kelas I tidak bertanggung jawab atas kebenaran dokumen yang diajukan oleh pemohon kepada KPKNL, dan yang bertanggung jawab atas kebenaran dokumen-dokumen tersebut adalah bank Mandiri di Semarang selaku pemohon pelaksanaan lelang.
Menurut hukum perdata, dasar pertanggungjawaban ada 2 (dua) macam, yang pertama adalah pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan yang lahir karena terjadinya ingkar janji, timbulnya perbuatan melawan hukum dan tindakan yang kurang hati-hati. Dasar yang ke dua adalah risiko yang ada dalam peristiwa hukum yang terjadi yaitu tanggung jawab yang harus dipikul sebagai risiko yang diambil oleh seorang pengusaha atas kegiatan usahanya.
Dengan demikian yang bertanggung jawab atas kebenaran dokumen yang dimohon untuk dilaksanakan lelang adalah Bank Mandiri di Semarang selaku pelaku usaha dan selaku pemohon lelang pada KPKNL apabila terdapat kerugian atau tuntutan terhadap objek lelang hak tanggungan kecuali tuntutan tersebut berkaitan dengan pelaksanaan lelang yang dilakukan oleh pejabat lelang kelas I dalam memimpin pelaksanaan lelang.







B. Pelaksanaan Pemungutan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan terhadap Objek Lelang Eksekusi Pada Bank Mandiri di Semarang Menurut Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan

Dalam rangka pembangunan ekonomi Indonesia, bidang hukum yang meminta perhatian secara serius dalam pembinaan hukumnya diantaranya ialah lembaga jaminan. Pembinaan hukum dalam hukum jaminan merupakan sebuah konsekuensi logis dan merupakan perwujudan tanggung jawab pembinaan hukum yang mengimbangi lajunya kegiatan-kegiatan dalam bidang perdagangan, perindustrian, perseroan, pengangkutan dan kegiatan dalam proyek pembangunan.
Kegiatan demikian sering dilakukan masyarakat dalam mengimbangi kebutuhan yang akhirnya memerlukan fasilitas kredit dalam usahanya. Bagi pemberi kredit disyaratkan adanya jaminan dalam pemberian kredit agar tercipta keamanan dan kepastian hukum. Objek jaminan yang dijamin oleh penerima kredit adalah benda tidak bergerak yang bertitel dan berwujud dengan tujuan memberikan keamanan bagi pemberi kredit agar pihak yang meminjamkan akan terjamin dan dengan adanya jaminan sebagai pemenuhan kredit yang dipinjam dapat dieksekusi dan digunakan sebagai pelunasan bagi perikatan. Kredit yang tidak dapat dilunasi mengakibatkan objek jaminan akan dieksekusi melalui lelang sebagai pemenuhan kredit.
Lelang terhadap objek jaminan yang berupa benda tidak bergerak yang bertitel dan berwujud dalam hal ini adalah tanah akan dikenakan pajak sebagai pemasukan pemerintah. Pajak yang dikenakan pemerintah adalah pajak BPHTB sebagai salah satu bentuk peralihan hak dari subjek hukum kepada subjek hukum lain yang dalam hal ini merupakan pemenang lelang atas pelaksanaan lelang oleh pejabat lelang kelas I sebagai pegawai yang ditunjuk oleh KPKNL untuk melaksanakan lelang.
Berdasarkan Pasal 85 ayat (2) angka 8 Undang-undang PDRD juncto Pasal 3 ayat (2) angka 8 Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dinyatakan bahwa penunjukan pembeli dalam lelang akan dikenakan pajak BPHTB.
Pemungutan pajak BPHTB terhadap objek lelang bersifat self assessment system (sistem penetapan sendiri) yang merupakan tanggung jawab wajib pajak untuk melaporkan sendiri kepada pemerintah, dalam hal ini bertindak atas pengenaan pajak adalah Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah.
Pemungutan pajak terhadap objek lelang di Kota Semarang baru dapat dilakukan setelah ditentukan pemenang lelang oleh KPKNL berdasarkan risalah lelang yang ditandatangani oleh penjual, pembeli dan pejabat lelang yang bertugas serta disahkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang Semarang.
Berdasarkan Pasal 4 ayat (2) huruf o Peraturan Walikota Semarang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dasar pengenaan BPHTB terhadap objek lelang berdasarkan Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) sebagai harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang.
Setelah pemenang lelang telah dinyatakan oleh KPKNL, maka pemenang lelang tersebut akan diberikan fotocopy kwitansi salinan risalah lelang yang digunakan sebagai pengantar untuk melakukan pembayaran pajak BPHTB kepada pemerintah daerah yang dalam hal ini adalah Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Kota Semarang. Pemenang lelang tersebut akan memperoleh blangko Surat Setoran Pajak Daerah Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (SSPD-BPHTB) yang berfungsi sebagai surat pemberitahuan objek pajak pajak bumi dan bangunan (SPOP PBB). Di dalam SSPD-BPHTB memuat tentang:
1. Identitas Wajib Pajak;
Identitas wajib pajak antara lain:
a. Nama wajib pajak;
b. Nomor pokok wajib pajak;
c. Alamat lengkap wajib pajak.
2. Identitas Objek Pajak;
Identitas wajib pajak antara lain:
a. Nomor objek pajak (NOP) PBB;
b. Letak tanah dan bangunan;
c. Penghitungan Nilai Jual Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan (NJOP PBB);
Penghitungan NJOP PBB pada umumnya ditentukan berdasarkan 3 (tiga) objek, yaitu:
1) Terhadap objek tanah;
Penghitungan pajak terhadap objek tanah berdasarkan pada hasil perkalian antara luas tanah yang diperoleh dikali dengan NJOP PBB/m² (permeter persegi) yang ditentukan berdasarkan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang Pajak Bumi dan Bangunan (SPPT PBB) tahun terjadinya perolehan hak.
2) Terhadap objek bangunan;
Penghitungan pajak terhadap objek bangunan berdasarkan pada hasil perkalian antara luas bangunan yang diperoleh dikali dengan NJOP PBB/m² (permeter persegi) yang ditentukan berdasarkan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang Pajak Bumi dan Bangunan (SPPT PBB) tahun terjadinya perolehan hak.
3) Terhadap objek tanah beserta bangunan yang terdapat di atasnya;
Jumlah penambahan terhadap objek tanah berupa hasil perkalian antara luas tanah yang diperoleh dikali dengan NJOP PBB/m² (permeter persegi) yang ditentukan berdasarkan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang Pajak Bumi dan Bangunan (SPPT PBB) tahun terjadinya perolehan hak ditambah dengan hasil perkalian antara luas bangunan yang diperoleh dikali dengan NJOP PBB/m² (permeter persegi) yang ditentukan berdasarkan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang Pajak Bumi dan Bangunan (SPPT PBB) tahun terjadinya perolehan hak.
Penghitungan NJOP PBB terhadap objek lelang tidak ditentukan berdasarkan penghitungan NJOP PBB pada umumnya karena NJOP PBB dihitung berdasarkan harga transaksi yang terjadi pada saat pelaksanaan lelang eksekusi hak tanggungan di KPKNL atau dengan kata lain penentuan harga berdasarkan putusan lelang yang tercantum dalam risalah lelang dilaksanakan di KPKNL kepada pemenang lelang yang telah melakukan penawaran tertinggi terhadap lelang eksekusi hak tanggungan.
d. Jenis perolehan hak atas tanah dan bangunan;
Perolehan hak atas tanah dan bangunan ditentukan berdasarkan jenis-jenis yang dilakukan oleh wajib pajak, jenis-jenis Perolehan hak atas tanah dan bangunan antara lain:
1) Jual beli;
2) Tukar menukar;
3) Hibah;
4) Hibah wasiat;
5) Waris;
6) Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain;
7) Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
8) Penunjukan pembeli dalam lelang;
9) Pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
10) penggabungan usaha;
11) pelebaran usaha;
12) pemekaran usaha;
13) hadiah;
14) Perolehan hak rumah sederhana sehat dan rumah sangat sederhana melalui KPR bersubsidi sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Pemukiman dan Prasarana Wilayah Nomor 24/KPTS/M/2003 tentang Pengadaan Perumahan dan Pemukiman dengan dukungan fasilitas subsidi perumahan sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Pemukiman dan Prasarana Wilayah Nomor 20/KPTS/M/2004 tentang Pengadaan Perumahan dan Pemukiman Rumah Bersubsidi dan Rumah Susun Sederhana yang dilakukan melalui Kredit Pemilikan Rumah bersubsidi (KPR Bersubsidi) yang pembangunannya mengacu pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 60/PRT/1992 tentang Persyaratan Teknis Pembangunan Rumah Susun;
15) Pemberian hak baru;
16) Pemberian hak baru sebagai kelanjutan pelepasan hak;
17) Pemberian hak baru diluar pelepasan hak.
e. Nomor sertipikat objek pajak.
3. Penghitungan BPHTB;
Penghitungan BPHTB diisi melalui penghitungan oleh wajib pajak yang berdasarkan pada:
a. Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) dengan memperhatikan nilai yang diperoleh dari Nilai Jual Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan (NJOP PBB) dan harga transaksi yang terjadi pada saat pelaksanaan lelang eksekusi hak tanggungan di KPKNL;
b. Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) yang ditentukan berdasarkan Pasal 5 ayat (7) Perda Kota Semarang Nomor 2 Tahun 2011 tentang BPHTB ditentukan mengenai besarnya nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak BPHTB ditetapkan sebesar Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) untuk setiap wajib pajak;
c. Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP) yang ditentukan berdasarkan hasil pengurangan Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) yang dikurangi Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP).
d. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang terutang merupakan bea yang dibebankan kepada wajib pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan berdasarkan Pasal 6 Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2011 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dengan ketentuan yang ditetapkan adalah sebesar 5% (lima persen) dari Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) yang telah dikurangi Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP).
4. Jumlah Setoran yang disetor Wajib Pajak.
Jumlah setoran yang disetor wajib pajak berdasarkan pada:
a. Penghitungan wajib pajak;
b. STPD BPHTB/SKPD BPHTB kurang bayar/SKPD BPHTB;
c. Pengurangan jumlah setoran wajib pajak;

Setelah wajib pajak mengisi Surat Setoran Pajak Daerah Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (SSPD-BPHTB) yang telah ditandatangani oleh wajib pajak dan telah diketahui oleh pejabat lelang kelas I maka wajib pajak harus membayar pajak BPHTB dengan jumlah pajak BPHTB terutang.
Berdasarkan Pasal 14 ayat (1) Peraturan Walikota Semarang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan bahwa pembayaran pajak harus dilakukan sekaligus atau lunas. Pembayaran pajak BPHTB terutang dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara, yaitu:
1. Melakukan penyetoran langsung pada Kantor Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah melalui Unit Pelayanan Teknis Daerah Kas Daerah (UPTD KASDA);
2. Melakukan penyetoran melalui Bank Jateng dengan nomor rekening 1.021.00066.8 atas nama Kas Umum Daerah Pemerintah Kota Semarang.
Setelah wajib pajak melakukan pembayaran pajak BPHTB, wajib pajak harus ke KPKNL dengan membawa surat bukti penyetoran BPHTB untuk mengambil fotocopy salinan risalah lelang dan menunjukan bahwa pemenang lelang telah melakukan pembayaran BPHTB. Setelah itu fotocopy salinan risalah lelang tersebut diserahkan kepada Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah untuk dilampirkan bersama Surat Setoran Pajak Daerah Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (SSPD-BPHTB) untuk ditandatangani oleh Unit Pelayanan Teknis Daerah Kas Daerah (UPTD KASDA).
Surat Setoran Pajak Daerah Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (SSPD-BPHTB) diberikan kembali kepada Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah dan oleh Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah, wajib pajak akan diberikan formulir penyampaian Surat Setoran Pajak Daerah Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (SSPD-BPHTB) sebagai syarat pendukung dikeluarkan tanda bukti telah melakukan pembayaran BPHTB. Wajib pajak harus mengisi formulir tersebut dan melengkapi syarat-syarat kelengkapan berkas untuk dapat dilakukan penelitian/verifikasi terhadap perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan. Berkas penelitian/verifikasi Surat Setoran Pajak Daerah Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (SSPD-BPHTB) dengan lampiran sebagai berikut:
1. Surat Setoran Pajak Daerah Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (SSPD-BPHTB);
2. Fotocopy identitas wajib pajak;
3. Surat Kuasa dari wajib pajak (apabila dikuasakan);
4. Fotocopy kartu keluarga wajib pajak atau surat yang menunjukan hubungan keluarga;
5. Fotocopy identitas kuasa wajib pajak (apabila dikuasakan);
6. Fotocopy Kartu Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);
7. Fotocopy SPPT PBB tahun berjalan atau fotocopy surat keterangan NJOP tahun terakhir;
8. Fotocopy risalah lelang;
9. Fotocopy kuitansi lelang;
10. Fotocopy surat keterangan pemenang lelang;
11. Fotocopy sertipikat;
12. Fotocopy resi BPHTB yang telah dibayar atau disetorkan.
Apabila salah satu syarat belum dipenuhi atau belum dilengkapi maka Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah tidak akan memproses permohonan wajib pajak untuk dilakukan penelitian/verifikasi. Akan tetapi apabila syarat tersebut telah dipenuhi maka Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah langsung memproses permohonan wajib pajak untuk dilakukan penelitian/verifikasi.
Pada dasarnya penelitian/verifikasi oleh Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah merupakan amanat dari Peraturan Walikota Semarang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan akan tetapi penelitian/verifikasi tersebut akan berakibat fatal terhadap putusan lelang karena penelitian/verifikasi terhadap pemungutan pajak BPHTB yang dilakukan Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah kemungkinan akan mengubah harga yang telah ditetapkan pada saat putusan lelang yang telah mencapai penawar tertinggi atau melampaui nilai limit yang disahkan sebagai pembeli oleh pejabat lelang. Dengan adanya penelitian/verifikasi oleh Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah akan berpengaruh pada risalah lelang yang dikeluarkan oleh KPKNL kepada pemenang lelang dalam hal penentuan harga yang tercantum dalam risalah lelang dan hasil penelitian/verifikasi oleh Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah dalam menentukan pajak BPHTB yang harus dibayar oleh pemenang lelang.
Penelitian/verifikasi oleh Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah dilakukan berdasarkan Pasal 11 ayat (1) Peraturan Walikota Semarang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan bahwa Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah wajib melakukan penelitian/verifikasi atas SSPD BPHTB. Tujuan penelitian/verifikasi untuk mengetahui kebenaran informasi yang tercantum dalam Surat Setoran Pajak Daerah Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (SSPD-BPHTB) dan memeriksa kelengkapan dokumen pendukungnya berdasarkan database objek pajak. Dalam keadaan tertentu, Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah berhak membentuk tim pemeriksa untuk melakukan penelitian lapangan dan/atau untuk mengecek kebenaran data secara riil yang disampaikan oleh wajib pajak.
Berdasarkan penelitian di lapangan, proses penelitian/verifikasi lapangan yang dilakukan oleh Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah terjadi apabila terdapat selisih harga yang begitu besar dan/atau harga transaksi yang terdapat pada risalah lelang lebih rendah dibandingkan dengan harga pasar yang terdapat di sekitar objek lelang berada. Hal ini disebabkan karena biasanya peserta lelang hanya melakukan penawaran terhadap objek lelang berdasarkan harga limit atau peserta lelang hanya melakukan penawaran maksimal 5% (lima persen) dari harga limit objek lelang dan hal tersebut akan merugikan para pihak yang salah satunya adalah pemerintah daerah. Oleh karena itu pemerintah daerah melakukan penelitian/verifikasi terhadap objek lelang dan menyesuaikan harga yang tercantum dalam risalah lelang dengan harga pasar. Apabila terdapat perbedaan selisih yang begitu besar, maka pemerintah daerah melalui Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah membentuk tim pemeriksa untuk melakukan penelitian/verifikasi lapangan agar dapat diperoleh kebenaran data secara riil dan memeriksa kelengkapan dokumen pendukungnya berdasarkan database objek pajak serta kebenaran informasi yang tercantum dalam Surat Setoran Pajak Daerah Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (SSPD-BPHTB).
Hasil penelitian/verifikasi lapangan yang dilakukan oleh tim pemeriksa tersebut akan melaporkan kepada Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah dan Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah akan menentukan apakah wajib pajak harus membayar pajak BPHTB sebesar nilai harga yang tercantum dalam risalah lelang atau nilai harga yang dihitung oleh tim pemeriksa dari hasil penelitian/verifikasi lapangan. Apabila ditentukan bahwa wajib pajak harus membayar pajak BPHTB berdasarkan nilai harga yang dihitung oleh tim pemeriksa dari hasil penelitian/verifikasi lapangan, maka Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah akan mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan (SKPDKBT) untuk diserahkan kepada wajib pajak agar wajib pajak mengetahui dan membayar kekurangan pajak daerah kurang bayar tambahan tersebut dibayar oleh wajib pajak dalam hal ini adalah pemenang lelang melalui bank atau tempat lain yang ditunjuk Walikota Semarang paling lambat 30 (tigapuluh) hari kerja setelah saat terutangnya pajak. Apabila terdapat selisih harga yang begitu besar dan/atau harga transaksi yang terdapat pada risalah lelang lebih besar dibandingkan dengan harga pasar yang terdapat di sekitar objek lelang berada, maka tidak dilakukan pemeriksaan lapangan oleh tim pemeriksa dari Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah, hanya dilakukan pemeriksaan kelengkapan dokumen dan syarat-syarat administrasi lainnya. Setelah dilengkapi syarat-syarat dokumen dan syarat-syarat administrasi yang diperlukan, maka Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah langsung menetapkan bahwa harga yang terdapat pada risalah lelang adalah dasar penghitungan pajak BPHTB tercantum dalam Surat Setoran Pajak Daerah Bea Perolehan Hak atas Tanah sebagaimana telah dilakukan pembayaran pajak BPHTB oleh pemenang lelang.
Setelah seluruh hasil penelitian/verifikasi telah diterima oleh Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah dan syarat-syarat dokumen serta syarat-syarat administrasi yang diperlukan telah dipenuhi, maka Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah menandatangani Surat Setoran Pajak Daerah Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (SSPD-BPHTB) sebagai tanda bukti telah dilakukannya penelitian/verifikasi oleh Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Kota Semarang dan Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah menyerahkan bukti tersebut kepada wajib pajak sebagai tanda bukti telah dilakukan pembayaran BPHTB.
Wajib pajak membawa tanda bukti pembayaran BPHTB yang telah di teliti atau di verifikasi tersebut diserahkan kepada KPKNL untuk memperoleh kutipan asli risalah lelang dan kuitansi asli kutipan pembayaran lelang dan bea lelang, maka pemenang lelang akan memperoleh dokumen asli kepemilikan dan/atau barang yang dilelang dari KPKNL paling lama 1 (satu) hari kerja setelah pemenang lelang menunjukkan bukti pelunasan pembayaran dan menyerahkan bukti setor Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) kepada KPKNL.
Kutipan asli risalah lelang kedudukannya sama dengan akta jual beli, bagi pemenang lelang kutipan asli risalah lelang digunakan untuk kepentingan balik nama atau roya terhadap sertipikat debitur menjadi nama pemenang lelang pada Kantor Pertanahan dan/atau kutipan asli risalah lelang dapat digunakan sebagai grosse risalah lelang sesuai kebutuhan pihak pemenang lelang.
Dengan demikian, pemungutan BPHTB tehadap objek lelang eksekusi hak tanggungan tidak semata-mata berdasarkan pada harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang, meskipun dalam harga yang tercantum dalam risalah lelang merupakan harga pasti yang tidak dapat diganggu gugat karena risalah lelang merupakan akta otentik yang dibuat oleh pejabat yang berwenang, akan tetapi pemerintah Kota Semarang dalam melaksanakan amanat Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan juncto Peraturan Walikota Semarang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan melakukan penelitian/verifikasi terhadap perolehan hak atas tanah dan bangunan yang salah satunya adalah perolehan hak atas tanah dan bangunan melalui lelang, dan hal tersebut dapat mempengaruhi harga transaksi yang terdapat dalam risalah lelang untuk melakukan pemungutan pajak BPHTB terhadap objek lelang. Oleh karena itu pelaksanaan penelitian/verifikasi oleh Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah sewaktu-waktu dapat merubah harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang dalam melakukan penghitungan pajak BPHTB terutang dengan tidak mengubah harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang.


BAB IV
PENUTUP

A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada bab I, II, dan III, maka dapat disimpulan bahwa:
1. Pelaksanaan lelang eksekusi hak tanggungan terhadap perjanjian kredit pada Bank Mandiri Cabang Semarang merupakan wewenang dan tanggung jawab KPKLN yang dilaksanakan oleh pejabat lelang kelas I sebagai pegawai negeri yang ditunjuk dan ditugaskan oleh KPKNL untuk memandu lelang dari proses pra lelang, pelaksanaan lelang dan pasca lelang.
2. Pajak BPHTB objek lelang dilaksanakan oleh wajib pajak dengan sistem self assessment dan pajak BPHTB tehadap objek lelang dilakukan penelitian/verifikasi untuk mengetahui kebenaran informasi dan memeriksa kelengkapan dokumen pendukungnya berdasarkan database objek pajak serta melakukan penghitungan pajak BPHTB terutang oleh wajib pajak.
B. Saran
1. Diharapkan sebelum memberikan kredit kepada debitur bank Mandiri Cabang Semarang memperhatikan kebenaran dokumen yang dijadikan jaminan oleh debitur agar dapat meminimalisir resiko yang akan terjadi.
2. Diharapkan sebelum melaksanakan lelang, pejabat lelang kelas I harus berhati-hati dalam melaksanakan lelang sehingga kepentingan debitur, kreditur, pemenang lelang dan pihak ketiga tidak dirugikan terhadap putusan lelang.
3. Diharapkan pemerintah terus melakukan sosialisasi tentang BPHTB agar masyarakat lebih memahami ketentuan-ketentuan perpajakan khususnya mengenai pajak BPHTB objek lelang, sehingga pemenang lelang dapat memahami ketentuan dan syarat-syarat yang diperlukan.
4. Diharapkan pemerintah tidak perlu dilakukan penelitian/verifikasi terhadap BPHTB objek lelang karena akan menimbulkan ketidakpastian hukum, hal ini cukup dengan melakukan pengawasan atau koordinasi dengan KPKNL atau pejabat terkait lainnya.
5. Diharapkan dalam melaksanakan pemungutan BPHTB, pemerintah Kota Semarang dapat melakukan pelayanan 1 (satu) atap agar pemenang lelang dan/atau masyarakat dapat lebih mudah dalam melakukan pembayaran pajak.
6. Dalam rangka meningkatkan penerimaan BPHTB perlu terus ditingkatkan kerjasama dengan pihak yang terkait dalam pelaksanaan pemungutan BPHTB.